Bab 1.2 Namaku Mara

93 10 26
                                    

"Hai!"

Beberapa kali terdengar panggilan dari luar, akhirnya Mara terbangun. Angin berembus dari tirai yang menutupi bagian atas pintu yang berupa jeruji. Matanya mengerjap beberapa kali agar lebih fokus.

"Kau sudah bangun?"

Suara itu kembali terdengar, meyakinkan Mara kalau memang ada seseorang di luar sana. Agak meringis karena nyeri di kaki, ia mendekati pintu. Menuju bayangan hitam yang berdiri di balik tirai.

"Kau yang tadi siang!" seru Mara. Disambut senyuman ramah dari Azazel.

"Hai, kau mau ke luar sebentar? Tidak nyaman jika mengobrol seperti ini." Azazel menawarkan seraya bersiap membukakan gembok, tapi Mara menggeleng.

"Tidak. Di sini saja. Aku tidak boleh keluar."

"Tak perlu takut, kau tidak akan berubah. Aku yang akan bertanggung jawab!" ujar Azazel seraya membuka lebar pintu kurungan. Rantai bergembok teronggok di lantai.

"Apa sakit saat berjalan? Mau kugendong?" ucapnya lagi saat Mara berdiri mematung.

Gadis itu masih terpana melihat pintu yang terbuka dengan mudahnya tanpa sebuah kunci. Belum sempat meminta penjelasan, pemuda itu sudah berlutut seraya menyentuh kaki kanannya—ke tempat noda hitam berkedut.

"Kau ... bisa melihatnya?" tanya Mara.

Alih-alih menjawab, Azazel menengadah dan tersenyum. Ia meraih tangan Mara, menuntunnya untuk meninggalkan kamar—penjara—itu. Mereka berjalan pelan, menyusuri jalanan sepi yang diterangi cahaya rembulan.

"Malam yang indah!" gumam Azazel sambil mendongak ke langit.

Mara yang melamun sedari tadi, tersentak dan mengikuti arah pandangannya. Ke langit malam yang ditaburi bintang. Sangat indah, dan mungkin saja ini menjadi pemandangan terbaik yang pernah ia lihat seumur hidup.

Senyuman mengembang, tangannya terbentang, dan ia menarik napas dalam—meresapi segala hal yang dirasakannya saat itu. Aroma malam musim panas, udara sejuk, cahaya rembulan yang menyorot, dan gemerlap bintang yang memanjakan mata.

Azazel terpesona untuk beberapa saat. Bukan pada langit, tapi pada Mara yang sedang tersenyum tulus di depannya.

"Sudah berapa lama kau dikurung di tempat itu?"

Diam sejenak untuk mengingat, akhirnya Mara bersuara, "Sejak aku masih tujuh tahun. Berarti ... sebelas tahun telah berlalu."

Pemuda yang mengenakan kemeja dan celana serba hitam itu mengangguk. Rambut yang biasanya tersisir rapi ke belakang, kini jatuh menutupi sebagian mata kirinya. "Waktu yang sangat lama untuk menghuni kamar kosong sendirian," lirihnya.

"Siapa namamu?" tanya Mara. Gadis itu berdiri tepat dua langkah di hadapannya, sedikit menengadah agar tatapan mereka bertemu.

"Az." Ia tersenyum lembut. Tangannya meraih anak rambut Mara dan menyelipkannya ke belakang kuping sang gadis. Lalu kembali berkata, "Namaku Azazel."

"Namaku Mara. Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan ke luar, Azazel!" sambut sang gadis, ikut membalas senyumannya. Mara tidak berbohong tentang nama, sebab baginya Mara adalah nama yang cocok. Anatashia terlalu cantik untuknya.

*****

Sejak 384 tahun yang lalu, manusia mendapat kutukan. Sebuah kutukan yang membuat seseorang berubah menjadi monster pemakan manusia dan biasanya disebut Anathema. Belum ada cara menyembuhkannya. Mereka yang terkena, sudah pasti akan mati. Sebab satu-satunya cara menghentikan semua itu adalah dengan memenggal kepalanya. Menusuk perut bahkan jantung pun tidak mempan pada Anathema.

Anathema: Sebuah PenebusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang