1,5. Sekarat

3 5 0
                                    

Aaaah ... akhirnya ... aku sendiri lagi. Tidak ada yang mau mempedulikanku sekarang. Bahkan binatang jalangpun menertawai nasibku. Dingin sekali ... ah, rupanya sudah pagi. Aku lalu berdiri dengan pakaian lusuh, lututku sangat lemas dan nafasku bau, di persimpangan kiri jalan ini. Aku hanya mengingat saat-saat terakhir dimana aku, Firman, dan Dodi berpesta miras bersama di kolong jembatan. Namun yang ada, dompet, gitar, dan hapeku yang menjadi pegangangku, hilang.

Aku tidak mau pulang ... aku tidak mau dikasihani ...

Biarlah aku mati di tempat yang kejam ini. Iya, ibukota dengan segala gemerlapnya. Aku tidak menyukainya. Banyak orang disini bahkan saling berdesakan, namun tidak mengenal satu sama lainnya.

Hidupku keras dalam kumpulan terbuang

Bingung berdiri di persimpangan kiri jalan

Daripada nodong lebih baik minta tolong

Kami bukan malas tak harus dikasihankan

Buka kesempatan pada kami dan kami takkan buang!

Batinku mengiang-ngiang lagu itu, lagu yang sempat menjadi perekat kami bertiga, lagu yang meyakinkan bahwa aku masih hidup. Lagu yang sekarang membawa kenanganku pada hal buruk. Mereka mengkhianatiku sekarang. Zulkifli Hadi, itulah namaku tapi dipanggil Zul atau Tutul, akan berbaring di jalanan ini. Diseret oleh petugas keamanan jadi binaan, atau jadi santapan anjing liar atau lebih buruk dari itu. Tidak, aku tidak sanggup membayangkan yang lebih buruk dari itu, jangan.

"Uhuk ... uhuk ...."

Sudah kuduga, memang kabur dari rumah adalah bukan pilihan terbaik. Namun, aku tidak bisa menemukan kerabatku yang mau peduli. Aku tidak tinggal di keluarga yang menginginkanku. Iya, memang dosa bagiku untuk ada di dunia ini. Aah ... lebam yang kudapatkan selama aku tinggal di rumah ... kembali terasa nyeri lagi setelah sekian tahun. Hidungku sangat pilek, aku hampir tidak bisa bernafas.

"HUEEEKK...." Aku muntah di pinggir jalan.

Tubuhku gemetar, lututku terlalu lemas, dan akhirnya biarlah aku disini. Terbaring di persimpangan kiri jalan ini.

-=-=-=-=-=-

"Zul ... kamu sudah sadar" ah, suara itu.

Suara yang kukenal, meski sudah lama tidak mendengarnya.

"Ini ... surga?"

"Bukan, Zul" katanya.

Iya juga sih. Kalau memang surga, harusnya bukan berbentuk rawat inap rumah sakit. Ah, tubuhku masih sangat sakit.

"Tante Indri mau meremehkan Zul, ya?" tanyaku.

"Kamu ngomong apa, sih? Kamu itu tadi habis tidur dijalanan. Dokter bilang, kamu tadi overdosis miras oplosan! Untung aja tadi Tante puter jalan, jadi kamu masih bisa ditolongin! Kamu jangan ngomong yang enggak-enggak, Zul. Syukurlah kamu masih selamat!!!"

Ah, rupanya sudah sejauh itu. Aku bahkan berkeluyuran keliling kota, mengamen sampai wilayah paling jauh dalam benakku.

"Oh, begitu ya?" aku menyadari tanganku dengan infus.

"Harusnya kamu berhenti begini. Lagian, mengapa kamu jadi begini? Tante ga pernah bisa bayangin aja, Zul"

Sebenarnya masalahnya rumit. Cuma aku terlalu malas membahasnya. Intinya, aku sedikit berterima kasih. Ada yang mau menyelamatkan nyawaku.

"Panjang, Tan" kataku.

"Ya sudah, kamu istirahat aja dulu. Tante mau ngomong ke bapak kamu aja dulu" katanya.

"Jangan tan ... lebih baik Tante cabut infus ini daripada Tante panggil bapak!" aku takut.

Tante Indri yang sudah mengeluarkan hapenya, menahan diri.

"Oh, jadi itu penyebabnya? Iya, Tante ga akan bilang siapa-siapa. Yang penting kamu sembuh dulu ya Zul" katanya.

Aaah ... akhirnya. Padahal, aku tidak mau merepotkannya. Dia punya nama dan usaha yang tidak boleh kucoreng. Bukan hanya cantik dan sukses, dia dengan sukarela mau menolongku. Aku membenci hal ini, namun aku harus membayarnya suatu saat nanti. Tapi dengan apa? Aku bahkan terlalu malu untuk mengatakannya. Cuma yang perlu kulakukan sekarang adalah bersyukur.

BERSAMBUNG....

Tabung KacaWhere stories live. Discover now