2. Sembuh

4 3 0
                                    

Ya sudah deh. Dengan pengobatan dan perawatan teratur, dalam tiga hari ini aku sudah diizinkan pulang ke rumah Tante Indri tentu saja. Dia mengantarku dengan motor. Namun sebelum itu, aku Cuma mau bilang padanya, "Makasih, Tan"

"Iya sama-sama" dia buru-buru mau pakai helm.

"Tunggu dulu tan. Aku terima kasih banyak. Tante ga jadi bilang-bilang ke bapak!" kataku.

"Ya sudah, itu bukan urusan sulit. Dia juga tidak pernah ke rumah Tante lagi. Yang penting, kamu selamat aja sekarang" katanya.

Kami sampai di rumahnya di waktu siang menjelang sore. Ini sama sekali lingkungan yang asing buatku, karena memang Tante Indri tidak tinggal di sini dulunya. Tidak kusangka Tante punya usaha di bidang kue basah di lantai satu rukonya.

"Ayo, Zul. Kamu beres-beres dulu" dia menyadariku yang tengok kanan kiri.

Dari pintu berbeda dengan ruang etalase kue, Tante Indri mengajakku di pintu berbeda menuju tangga lantai dua. Aaah, tubuhku yang lemah ini harus pelan-pelan menaikinya. Namun disitu, ada orang yang sudah tak pernah bertemu lagi sejak lama.

"Assalamualaikum" kata Tante, diikutiku.

"Waalaikum Salam, selamat datang Zul!" Dialah Rani, sepupuku yang cantik.

Dia memang seumuranku. Dia bukan hanya cantik, tetapi ramah juga seperti ibunya. Tangan halusnya memegang tanganku.

"Gua udah buat kue yang enak, loh. Lu pasti suka!" kata Rani.

"Rani, dia masih mendingan. Nanti saja, kalau sudah tubuhnya baikkan" kata Tante Indri.

Aku duduk melepas lelah. Ah, akhirnya hidupku tertolong. Setidaknya, bapakku itu tidak ada disini.

"Sekarang kamu tinggal di sini ya. Tenang aja, Tante ga bilang-bilang ke siapapun kalau kamu menginap di sini" kata Tante Indri.

"Iya, Tan"

Aaah ... setidaknya, aku tidak perlu repot-repot jadi santapan anjing liar. Aku ... masih bisa hidup. Syukurlah kerabatku tidak memberitahukan keberadaanku pada bapakku. Aku hanya ... tidak mau hal itu terulang lagi. Kalau memang baik-baik saja, harusnya aku tidak perlu kabur dari rumah lamaku. Pun, juga disini tempatnya jauh lebih nyaman daripada rumahku sebelumnya. Bahkan aku punya kamar pribadi buatku.

Awalnya aku senang, sampai aku baru tahu bahwa suami dari Tante Indri sebenarnya sudah lama meninggal. Untungnya, dia masih bisa memanfaatkan tabungan yang ada untuk membuat usaha kue kering dan sudah berjalan selama dua tahun sebelumnya. Melihat kegigihan Tante Indri dan Rani dalam bekerja, membuatku malu untuk terus berpangku tangan. Maka dari itu, aku menawarkan diri untuk melakukan sesuatu.

"Zul sudah sembuh? Syukurlah. Kalau begitu Zul, antarkan kue ini ke rumah Bapak Zainudin di alamat ini"

Aaah alamat ini. Aku tahu persis tempatnya dimana. Jadinya, aku membawa motor menuju rumahnya. Tidak jauh juga sih, tapi macetlah yang buat lama. Tidak pernah selama ini aku berkeliling dengan bahagia seperti ini. Aku mencapai rumahnya yang pagarnya lumayan tinggi di perumahan kompleks begitu.

Ting ... tong ... aku menekan bel.

Tidak lama, seorang perempuan cantik menghampiri. Maksudku cantik disini adalah dia bukan hanya wajahnya yang berkulit gelap mengkilap, tetapi juga pakaiannya begitu tebal dan panjang.

"Iya, ada apa?" suaranya lembut menyapaku.

"Ini paket dari Toko Kue Rani. Berikut tagihannya" aku menyodorkan notanya.

Transaksi memang berjalan lancar, namun ada yang tertinggal. Senyumannya itu masih tertinggal dalam benakku. Aku belum pernah melihat senyuman setulus dan secantik itu. Macam bidadari saja, cuma lupa bawa selendangnya jadi masih di Bumi. Yah, sekarang aku sangat senang. Mungkin saja ini budi baikku waktu itu yang menyelamatkan kucing dari anak-anak yang menyiksanya. Sudahlah, jangan berpikir lama-lama. Aku harus segera kembali pada Tante.

BERSAMBUNG ....

Tabung KacaWhere stories live. Discover now