9. Solusi

1 2 0
                                    

"Oh iya gua punya solusi" bukan aku atau Azzam yang mengatakan itu.

Aku menoleh ...

"Farah?" Tanya Azzam.

Dia tersenyum selayaknya buaya. Beberapa anak di kelasku ini tiba-tiba mengarahkan perhatiannya pada kami bertiga.

"Wah, sorry ya gua ga bisa datang. Tapi gua udah titip kok ke Nadia. Gua pikir latihannya bakal sebentar. Ga nyangka sampe semalam itu" katanya.

"Oh ya udah gapapa" kata Azzam.

"Titip nama saja ga usah datang sama sekali juga gapapa, kok Far" aku mulai menantangnya.

Anehnya, Azzam malah menatapku dengan perasaan masam. Juga beberapa murid di kelasku ini.

"Eeh, jangan gitu dong. Masa, izin dibilang begitu? Lu aja ga ngerti gimana susahnya latihan itu. Zam, sorry ya" dia mengulurkan tangannya.

Tidak kusangka, Azzam memaafkannya begitu saja dengan menjabat tangannya.

"Sekali lagi, Zul. Biar lu ga tuduh-tuduh yang macem-macem tentang gua, mending lu sekalian aja datang kalo gua latihan. Jangan ngomong yang enggak-enggak ke Azzam atau ke anak-anak lain" Farah lalu meninggalkan kami berdua.

Lah, jadi begitu dianya. Sekarang dia malah memfitnahku di dalam kelas. Apa karena itu, Azzam jadi memaafkannya? Tapi malah Azzam yang jadi membanntunya memfitnahku. Entahlah, masalahnya jadi runyam begini. Aaah ... rasanya aku tidak tahu mengadu kemana lagi. Memang harusnnya dari awal aku memikirkan rencananya. Pengkhianatan ... memang sakit rasanya. Aku hanya tidak mau Nadia merasakan hal yang sama.

Aku bertanya ke Rani disaat tidak dalam waktu ramai orang memesan kue di toko Tante.

"Gua kesel banget!"

"Emang kenapa, sih?" tanya Rani.

"Enggak gitu loh. Coba aja bayangin, lu udah kerja kelompok buat seorang teman. Apalagi, lu rela bawa nama dia. Terus, dia sering alasan ga bisa ikut kerjain karena kesibukan, dan ternyata lu tau kalo temen lu itu cuman boongan! Dia emang beneran males doang, dan gak mau bergabung" kataku.

"Wah, parah banget dong kalo gitu! Siapa sih emang? Temen lu?" kata Rani.

"Enggak sih, temen gua curhat aja. Dia belakangan tau temennya lagi nusuk dia dari belakang" kataku.

"Ah, biarin aja lah. Entar tu anak tanggung sendiri akibatnya" kata Rani.

"Bagemana bisa?! Gua yang dengernya aja kesel. Masa, elu engga?"

"Aduh, si Zul. Emang temen lu itu siapa yang digituin? Azzam?"

"Aah, Azzam lagi. Gua ceritain, dia juga punya jawaban yang sama persis kayak lu. Kayak jodoh, tau enggak lu!"

Rani mencubit pinggangku, "Yeh, pacar lu kali! Lu bahas-bahas terus!"

"Kagak ye! Ah, lu sih! Mana mungkin?! Terus ... terus apa ya? Kok gua jadi lupa sih?! Gara-gara lu, sih!" kataku.

"Lah jadi gua dong?! Coba baca lagi kalimat lu sebelumnya. Inget-inget"

Aku menoleh langit-langit toko, mengingat apa yang kuingin katakan lagi.

"Oh iya, soal temen yang nusuk dari belakang. Kira-kira, lu punya saran ga buat temen gua itu?" kataku.

"Ya jauhin aja sih. Ngapain temenan sama orang begitu. Itu aja sih, saran dari gua. Sudah lah, mending urus toko. Bukan urusan lu juga. Temen lu juga udah dewasa, kan? Dia udah pasti tau apa yang bagus buat dia" kata Rani.

"Ya iya sih, dia emang dewasa. Tapi kalo dia ga punya pilihan lain gitu, misalnya karena satu kelompokannya?"

"Kalo enggak, lu tungguin aja kapan dia kena masalah baru lu ulti dia!"

"Ulti? Apaan?" aneh-aneh saja ini Rani.

"Haah ... susah dah kalo ngomong sama lu" dia ketus menjawab.

"Lu ngomongnya ga jelas!"

Ada seorang pembeli yang mendatangi toko kami, sebagai penjeda pembicaraan kami. Setelah dia pergi dengan membeli delapan boks kue basah, kami melanjutkan pembicaraan lagi.

"Apa ini ada hubungannya dengan temen ngamen lu dulu?" tanya Rani.

"Kebetulan aja kali sama ama kasus gua. Tapi ini temen gua. Gua ga bisa terima, dong! Sakitnya!" dan aku mencondongkan tubuhku ke Rani "sakitnya ditusuk dari belakang!!!"

"Ah, lebay lu ah. Kalo lu masih peduli sama temen lu itu, ya jangan jadi temen yang tusuk dari belakang. Jadi temen yang selalu mendukung! Terserah lu mau ngomong apa! Tapi, jangan seret gua dalam masalah ini!" kata Rani.

Hufft ... aku tidak menemukan jawaban darinya juga. Dalam kemudian harinya, aku mengamati Nadia izin ke toilet selama pelajaran sekolah berlangsung. Tak lama berselang, Farah juga ikut. Azzam sendiri dan yang lain tampak tidak peduli.

"Pak, saya izin toilet!" kataku.

Untungnya, guruku itu mengizinkannya. Aku memang tidak ke toilet, tetapi mengekor kemana Farah akan pergi dari kejauhan. Aku takut akan terjadi hal yang buruk padanya! Aku pastikan aku tidak akan terdengar maupun terlihat. Dari kelas, dia berjalan menuju lorong dan menuju kantin?!

Mengapa dia ke sana? Tetapi, aku tetap ikut. Dan kemudian, aku juga mendapati Nadia berada di sana! Rupanya keduanya sedang ke kantin bersama?! Untuk mendekatinya akan tidak mungkin karena kantin cenderung sepi. Paling-paling, menunggu anak yang sedang olahraga di lapangan untuk beristirahat untuk mendengar percakapan mereka sambil tidak diperhatikan.

Ah, kurasa tidak perlu lagi aku mengikutinya. Dia cukup cerdas untuk tidak dibuntuti. Namun, aku tidak melihat hal yang mencurigakan darinya. Keduanya tidak tampak melakukan tindakan yang mencurigakan, bahkan duduk bersebelahan menikmati jajanan masing-masing.

Sebenarnya, apa yang mereka bicarakan jadinya?

Tabung KacaWhere stories live. Discover now