6. Rencana

2 2 0
                                    

Azzam dengan sukses mengajak Gloria untuk kerja kelompok. Tentu saja aku tidak sabar untuk menunggu kedatangannya. Tapi sebelum itu, aku akan izin pada Tante Indri dan Rani.

"Besok gua mau ke rumahnya Azzam, kerja kelompok" kataku.

"Bareng Gloria?" dia tahu darimana Rani ini?

"Iya juga, sih. Kok lu tahu?"

"Nebak aja sih, kali aja lu lagi PDKT" kata Rani.

"Yah, sekalian kerja kelompok juga sih. Azzam kasih saran. Lu mau gabung?" tanyaku.

"Yah, gimana ya? Tadi gua abis presentasi Agama. Gua mau kerja kelompok di tempat lain. Gua ga mau ngerusak PDKT kalian" kata Rani.

"Ah, lebay lu. Bukan gua doang sama Gloria, temen-temennya katanya juga mau datang. Kerja kelompok, kok" kataku menutupi.

"Mungkin sekalian Azzam PDKT juga" kataku.

"Nah itu makanya. Dia bisa banget ngomongnya, bahkan tiba-tiba ngajak Gloria masuk ke masjid di tabir perempuannya" aku mengingatnya lagi.

Dia malah ketawa.

"Nekat banget. Hahahahaha! Azzam? Anak mana tuh? Boleh juga!"

"Paling kalo gua kasih tahu, lu juga ga kenal" kataku.

"Dih, sombong banget"

"Enggak lah! Gua baik, ramah, dan suka menolong. Dia anak sekelasan gua. Matanya merah mulu" kataku.

"Ooh ... ya udah deh. Kirain lu terjerumus lagi"

"Ngomong apa sih lu? Enggak-enggak aja!"

Dia mengangkat hal yang tidak kusukai itu lagi.

Terusku, "Udahlah, enggak kok. Anaknya aja ngantuk begitu, boro-boro jerumusin. Jerumusin kok ngajak ke rumahnya?"

"Bisa aja, kan?" Rani bilang.

"Ya ... bisa aja sih. Tapi kali ini dia orang berbeda. Atau lu mau gua kenalin?"

"Ga usah lah. Ga guna" Rani bilang.

Ya sudah kalau begitu. Biar aku saja dan Azzam menuju ke rumahnya. Jalan dari sekolah dan rumahnya memang tidak jauh, namun saja harus lewat jalan yang macet di pagi dan sore yang melewati dimana aku sempat mengamen di sana.

"Oh, lewat sini?" aku keceplosan.

"Lu tau daerah sini?" Azzam yang mengemudi bilang.

"Enggak, cuma kebetulan liat aja" kataku.

Ada dua pengamen yang juga sedang bermain di perempatan lampu merah. Apakah itu mereka? Semakin dekat kami berpapasan, rupanya bukan sama sekali. Namun rasanya, melihat mereka sama saja mengingatkan lagi masa-masa kelamku. Masa-masa dimana aku harus melarikan diri dari keburukan dan ketidaknyamanan.

Lagipula sekarang aku ada punya tugas yang lebih penting lagi dari itu semua. Utamanya, membayar terima kasihku pada Tante, terlebih ada Gloria yang masih menunggu. Meski memang, aku sangat marah pada mereka. Motornya terparkir di sebelah warung yang masuk gang.

"Kita sampe!" Azzam bilang.

"Kita sampe!" Azzam bilang.

Kami berdua turun dari motornya, lalu dia parkir di samping rumahnya.

"Oh, jadi lu punya warung?"

"Ya gitu lah. Ayo masuk"

Anak ini hebat juga ya. Biar dia ngantuk begitu, dia bisa mempengaruhi agar orang lain sepakat dengannya. Dari ruang berpenuh barang dagangan dan etalase, Azzam mengajakku masuk ke ruang keluarga yang lumayan. Sudah ada kue dan minuman yang tersedia.

"Mana yang lain?" sudah kuduga, rupanya masih sepi.

"Katanya mereka ada perlu dulu" kata Azzam.

Sebenarnya aku juga ragu, sih kalau mereka memang benar-benar datang. Aaaah, harusnya aku sudah sadar ini dari awal. Azzam segera membuka notebook miliknya dan memintaku membuka beberapa halaman.

"Jadi gimana nih pembagiannya?" tanyaku.

"Dih, rajin banget" Azzam yang sama sekali tidak terlihat mengantuk itu, malah meledekku.

"Ya gua ga bisa lama-lama di sini. Gua harus bantu Tante gua juga"

"Oooh begitu? Emang Tante lu dagang apaan?"

"Kue-kue basah di pertigaan Jalan Kopi Toraja" kataku.

"Toko Kue Rani? Aaaah ... rupanya lu ponakannya juga Tante Indri?" dia rupanya tau.

"Memang"

"Tumben gua baru liat lu"

Sebenarnya sih, ceritanya panjang.

"Ya sudah nih. Karena Gloria sama yang lain belum datang, kita belajar ekonomi aja deh. Kita bikin aja dulu makalahnya dulu soal permintaan penawaran, nanti buat presentasinya" katanya.

"Ya boleh deh" kataku

Awalnya giliranku dulu yang membuat makalah sebelum presentasi.

"Lu ga keberatan kalo gua yang mulai ngerjain, kan?" Azzam menyadari keterlambatanku dalam mengerjakan tugas ini. Maklum, aku tidak pernah menggunakan benda ini dalam waktu yang sering.

"Sorry ya Jam" aku memanggilnya demikian.

"Iya, gapapa. Gua juga biasanya yang ngerjain sendirian" katanya.

Dan begitulah. Malah dia yang mengerjakan. Aku Cuma bengong-bengong saja, itupun karena aku tidak punya hape. Jadi beban saja aku di sini. Tapi ada gitar yang dia letakkan di samping lemari. Sekilas memang mirip gitarku dulu.

"Lu suka main gitar?" tanyaku.

"Oh, bukan. Bapak gua yang main. Lu mau maenin?" kata Azzam.

"Jangan, ah"

"Gua juga ga berniat nawarin lu mainin, sih" ya tidak usah bicara kalau begitu.

"Gua ... cuma ga suka mainin musik. Denger sih gapapa" aku berniat untuk mengubur saja masa laluku.

"Emang lu suka musik apa?" Tanya Azzam.

"Pop, rock, ya biasa lah. Lu sendiri?" kataku.

"Sama ... juga sih kayak lu. Bapak gua kadang-kadang mainin slow rock, jago lagi. Gua tawarin biar masuk internet biar viral, dianya gak mau. Malu katanya. Hahaha" jawabnya.

"Bapak lu gaul juga"

"Iya dong" Azzam tersenyum.

"Assalamualaikum ..." aku mendengar ada dua suara dari luar.

Azzam segera mendatangi orang itu. Begitu aku lihat kerjaannya, rupanya sudah banyak juga. Hebat. Dia kemudian balik lagi. Jangan-jangan mereka sudah datang!

"Siapa?"

BERSAMBUNG ...

Tabung KacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang