Bab 17 - Sweet Sugar

6.6K 1.1K 528
                                    

Tak kulihat jalan itu dengan jelas, apakah kau memang takdirku? Seperti yang dikata Ali bin Abi Thalib "apapun yang menjadi takdirmu, akan mencari jalannya untukmu".

AA Dearest
Karya Mellyana Dhian

***

Follow Instagram roleplayer ya @annalis.itsme @alkndaaa @latifhahahihi . Kalau mau info terupdate juga bisa follow aku @mellyana.i

Siapa yang dari kemarin nunggu bab 17 update?

Apa kerajaan yang sampai saat ini ada? Sebutkan!

***

"Putra Mahkota, coba kau juga meminta pendapat Pangeran Alraz dalam proyek ini," saran raja Al-Farizy yang duduk tegap di singgasana.

Ruangan raja berbentuk persegi panjang. Setiap dindingnya terdapat pahatan berlapis emas dan foto raja sebelumnya. Sekarang putra mahkota duduk di sisi kanan sedang membicarakan proyek baru yang ditawarkan oleh asing untuk memajukan akses antara pasar raya dengan salah satu musium yang menjadi daya tarik wisatawan.

"Raja, apa kau lupa kedudukan saya lebih tinggi dari pangeran?" Dengan congkaknya pria brewok berusia 48 tahun itu membantah raja.

"Tentu saja tidak. Saya hanya ingin kita berdiskusi bertiga sebelum membawanya di rapat resmi. Jangan sampai kejadian di desa budaya terulang lagi. Apa kau lupa pengorbanan pangeran Alraz?"

Putra mahkota membuang muka, tangannya mengepal kuat, giginya mengeras.

Tidak lama pangeran Alraz dan pangeran Latif datang dengan gagah. "Apakah raja memanggil kami?" tanya pangeran Alraz.

"Silakan kalian baca dokumen proposal ini." Raja memberikan berkas yang hanya beberapa lembar.

"Lelucon macam apa ini? Apakah Anda sudah tidak menghormati saya sebagai putra mahkota?" Putra mahkota mendesah berat.

"Kita hanya butuh pendapat dari kacamata orang lain agar lebih bijak memutuskan sesuatu." Raja tetap tenang. Dia tahu sifat adiknya yang akan semakin mejadi-jadi kalau dikerasin.

Pangeran Latif lebih dulu angkat bicara. "Proyek ini memang bagus untuk akses transportasi supaya wisatawan terfasilitasi. Namun sistem kerjasama yang ditawarkan oleh pihak asing rasa-rasanya perlu dipikirkan lagi."

"Tanpa mengurangi rasa hormat izinkan saya berpendapat," izin pangeran Alraz. "Saya setuju dengan Pangeran Latif. Memang asing menawarkan hutang, tetapi bunga hutang pembangunan transportasi ini akan membebani anggaran negara. Ditambah dia bisa membawa tenaga kerja dari negaranya. Ini menutup peluang raykat Madani yang membutuhkan pekerjaan. Tenaga ahli pun tidak kekurangan di sini. Sa—"

"Tenaga ahli Madani Raya tidak memadahi untuk mengerjakan pekerjaan ini," potong putra mahkota.

"Saya rasa itu trik mereka saja agar semakin diuntungkan," duga pangeran Alraz.

Pangeran Latif kembali mengeluarkan opini. "Madani sudah mempunyai bus listrik. Kereta listrik cepat untuk titik yang direncanakan menurut saya belum dibutuhkan. Saya juga yakin masyarakat lebih memilih bus karena tarif rendah."

Putra mahkota masih tidak menyerah. "Kapan terjadi modernisasi jika kalian kolot begitu?" kesalnya lalu pergi dari ruangan tanpa memedulikan sopan santun. "Saya akan tetap memperjuangkan proyek ini agar disetujui oleh rakyat."

Pangeran Latif geleng-geleng. "Saya yakin Putra mahkota mendapat imbalan khusus jika proyek itu sukses. Maka dari itu dia sangat berusaha."

"Tidak bisa asal menuduh. Namun, sepertinya memang begitu," sahut raja. "Kau boleh melanjutkan keguatanmu, Pangeran Latif."

AA Dearest [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang