19th - Karet Gelang

193 67 80
                                    

"Pengecut terbesar adalah pria yang membangunkan cinta seorang wanita tanpa berniat membalasnya" - Nadya Kusuma

------------------------------------------------------

Terhitung sudah 3 minggu sejak pertemuan pertama kali Nana dan Septi ketika dirinya menjemput Hana kala itu. Mereka kerap kali menghabiskan waktu bersama seusai Septi pulang kerja. Setiap Sabtu pagi, Nana tak absen menjemput Septi di rumahnya untuk mengajak perempuan itu Car Free Day di daerah Boulevard Bintaro yang kemudian dilanjutkan dengan makan lontong sayur bersama. Seperti sekarang, hari ini adalah Sabtu ketiga ia mengajak Septi untuk lari pagi. Saat ia sedang memanaskan motor, Umi menghampirinya,

"Aa' mau lari pagi lagi?" tanya Umi.

"Iya, Mi."

"Kenapa gitu jadi rajin bangun pagi sekarang? Biasanya juga abis shubuhan langsung molor lagi."

"Kan sekarang bangun pagi ada tujuannya, Mi. Mau ngapel." Nana tersenyum kecil.

"Kamu ama siapa tuh namanya, Septi ya? Emang udah beneran begini?" ucap Umi dengan kedua jari telunjuknya yang bertaut.

"Begini tuh apa, Mi?" Nana terkekeh.

"Udah pacaran gitu loh, A' maksud Umi."

"Oh belum, Mi. Aa' belom ada sebulan kenal Septi, masa mau langsung diajak pacaran."

"Atuh kalo gitu kasih pengertian ke Septinya, takut dianya nungguin Aa'."

"Iya, Mi. Umi mau dianterin ke tukang sayur dulu gak?"

"Gak usah, nanti tunggu yang lewat aja."

"Yaudah kalo gitu Aa' berangkat ya." ujar Nana sembari menyalami Umi.

"Iya hati-hati."

Sekitar 15 menit yang Nana butuhkan untuk sampai di rumah Septi. Nana menghentikan motornya di depan pagar hitam, terlihat laki-laki paruh baya yang ia kenal sebagai orang tuanya Septi sedang membersihkan kandang burung perkututnya.

"Wih, pagi-pagi udah sama burung aja, Pak." sapa Nana.

"Mana Assalamualaikumnya?"

"Oh iya hehe. Assalamualaikum, Pak. Septinya ada?"

"Ada noh. Panggil aja."

"Ih, Bapak juga gak jawab salam Danish. Dosa loh, Pak."

"Eh--waalaikumsalam."

Nana hanya terkekeh kecil. Tidak berselang lama, Septi keluar dari pintu dengan setelan olahraganya.

"Sorry nunggu lama, mau langsung jalan atau lo mau teh anget dulu?"

"Gak usah. Jalan sekarang aja yuk. Keburu siang. Pak, saya pamit ya. Anak gadisnya saya bawa dulu. Saya pastiin gak ada yang lecet kok pas dipulangin nanti hehehe."

"Iya dah. Hati-hati. Pulangnya jangan siang-siang."

Tidak ada obrolan berarti sepanjang perjalanan mereka. Septi juga malas mengajak bicara Nana kalau sedang berkendara, soalnya ia ingat kata Hana,

"Lo kalo lagi boncengan sama Nana, mending gak usah diajak ngobrol deh. Dia budeg soalnya. Hah hoh hah hoh doang."

Septi selalu tertawa mengingat perkataan Hana waktu itu. Entah sedekat apa hubungan Hana dan Nana, tapi ia merasa ada ikatan tak kasat mata antara mereka berdua yang tidak semua orang bisa memahami.

Jalanan sudah ramai diisi oleh semua kalangan. Ada yang datang dengan keluarga kecilnya, ada yang datang bersama teman-temannya, ada juga yang datang bersama pasangannya, seperti Nana dan Septi sekarang. Bedanya, tidak ada status jelas di antara mereka berdua.

How It Ends | Mark LeeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora