20.

2.2K 202 11
                                    

Adeline tengah mengukur pakaian untuk Dana. Beruntungnya dirinya ditemani Elsa jika tidak pasti Dana akan mempersulitnya. Ia mengukur dengan cepat agar segera selesai.

"Sudah selesai Tuan Muda Hartanto," ujar Adeline dengan nada serius. Namun, raut wajahnya terlihat meremehkan.

"Terima kasih Miss Adeline," balas Dana dengan raut wajah santai.

"Dana, pasti kamu tampan dengan jas itu," puji Elsa dengan raut wajah sumringah.

"Dia tampan kalau tidak dingin," lirih Adeline nyaris tak terdengar.

"Miss Adeline bisa saja," sahut Dana yang mendengar ucapan Adeline.

"Elsa, kamu kan pinter masak. Bisa enggak buatin aku cup cake cokelat sekarang?" Dana mencari cara agar Elsa pergi meninggalkannya dengan Adeline.

"Tapi, aku harus beli bahan-bahannya dulu."

"Enggak usah, kamu langsung aja ke dapur ada bahan-bahannya. Nanti tanya Koki Lia saja, pasti dia akan mengarahkanmu."

Elsa mengangguk. Ia hendak menggandeng tangan Adeline tapi Dana menarik tangan Adeline terlebih dahulu.

"Miss Adeline biarin di sini aja, aku mau pesan baju untuk pagelaran seni di Yogyakarta."

Elsa sebenarnya tidak ingin meninggalkan Adeline hanya berdua saja dengan Dana. Namun, apa boleh buat jika Dana sudah berkata maka tidak bisa diubah keputusannya. Ia pun berjalan dengan tidak semangat menuju dapur.

Adeline curiga kalau Dana ingin membuat masalah padanya. Ia harus berhati-hati atau akan sial lagi dikerjai oleh lelaki itu. Dirinya sangat berharap Dana tidak lagi mempermainkannya.

"Miss," panggil Dana membuyarkan lamunan Adeline.

"Iya, apa?"

"Saya mau pesan baju yang motifnya Jaguar, Miss. Bisa?"

Adeline tersenyum, senyuman terpaksa. Ia berusaha seramah dan setenang mungkin.

"Bisa. Tapi butuh waktu sekitar satu bulan dan harganya tidak murah."

"Tidak masalah. Berapa biayanya?"

"Seharga nyawa Anda," canda Adeline yang langsung dibalas dengan tatapan tajam. Adeline terdiam seketika. Ia benar-benar tidak menyangka Dana benar-benar menanggapi serius dengan apa yang ia katakan.

"Saya hanya bercanda," terang Adeline dengan formal kembali, raut wajahnya terlihat ketakutan.

Dana menarik tangan Adeline sehingga gadis itu jatuh ke pelukan Dana, "Sayang, bercanda seperti itu tidak baik," bisik Dana yang membuat Adeline merinding. Ia memastikan tidak salah mendengar ketika pria itu memanggilnya sayang. Aneh sekali seorang Dana bisa memanggil perempuan yang bukan siapa-siapanya sayang.

"Dana, kamu salah makan, ya?" tanya Adeline memberanikan diri.

"Enggak."

"Kenapa kamu panggil aku sayang. Aku kan bukan kekasihmu," protes Adeline dengan suara rendah.

"Siapa juga yang panggil kamu sayang. Bilang aja kamu ngarep dipanggil sayang," bantah Dana dengan raut wajah datar. Ia sengaja menggoda Adeline.

Adeline pun terdiam. Mungkin benar ia salah dengar, pikirnya. Tak mungkin seorang Dana bisa memanggil dirinya sayang.

"Terus ini ngapain juga peluk-peluk?" tanya Adeline yang tidak ditanggapi oleh Dana, "Tuan Muda Hartanto ini memang aneh, ya."

Dana hanya tersenyum masam. Lalu, melepaskan dekapannya pada Adeline.

***

Irene merasa canggung bertemu dengan Dana. Lelaki itu juga diam saja. Ia juga enggan menatap ke arah Irene.

"Dana dan Irene pernah satu projek, kan?" tanya Nia dengan senyum ramah, "jadi udah saling kenal."

"Iya," balas Dana singkat.

Sementara Irene hanya tersenyum, ia mengerti Dana kecewa padanya.

"Bagus kalau gitu. Enggak perlu kenalan lagi," terang Nia.

Gana menatap Irene yang terlihat gelisah. Ia yakin calon istrinya merasa tak nyaman sekarang. Dirinya berharap semua berjalan lancar sampai acara pernikahan dan seterusnya tanpa ada gangguan dari Dana.

"Tapi lebih bagus kalau Dana enggak kenal Irene, Bun," lirih Dana yang nyaris tak terdengar. Namun, tetap bisa di dengar semua orang di situ.

"Dana ini suka bercanda. Enggak usah dimasukkan ke hati ya, Rene," ujar Nia dengan nada lembut, tidak enak hati dengan ucapan putranya. Apalagi, ia melihat wajah Irene yang terasa canggung, tidak nyaman. Ia tidak mau membuat calon menantunya merasa tidak diterima dalam keluarganya.

"Iya, Tante. Enggak pa-pa, kok," sahut Irene dengan diakhiri senyuman tulus. Ia melirik ke arah Dana sekejap, terlihat wajah pria itu begitu datar dan dingin.

"Bun dan Dana, Gana mau ngajak Irene ke ruang musik sebentar. Nanti balik lagi ke sini," kata Gana untuk membebaskan Irene dari kecanggungan.

"Iya, sana. Ajak Irene keliling rumah sekalian, nanti rumah ini juga jadi rumah Irene juga."

Gana mengangguk, lalu mengandeng tangan Irene yang disambut hangat oleh calon istrinya. Irene bisa bernapas lega. Ia merasa bisa bebas sejenak dari Dana.

Sementara Dana langsung pergi meninggalkan ruang keluarga, ia pergi dengan raut wajah sendu. Menatap nanar punggung Irene sekilas. Hatinya masih belum rela melepaskan sang pujaan hati. Namun, jarum takdir berkata lain.

"Gana," bisik Irene begitu sampai di depan pintu ruang musik, ia menatap Gana cemas.

"Bagaimana kamu sudah bicara dengan Bundamu belum?"

"Bicara tentang apa?" Gana menatap Irene kebingungan.

"Kehamilanku," lirih Irene, takut ada yang mendengar.

"Aku belum bicara, sedang mencari waktu yang tepat. Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja," Gana menenangkan calon istrinya. Ia berjanji apa pun yang terjadi dirinya akan memperjuangkan Irene sampai akhir.

"Bundamu enggak akan marah?" Irene menatap Gana takut.

"Kalau marah, beliau pasti marah padaku. Bukan kamu," Gana meyakinkan Irene, lalu ia memeluk dan mengusap lembut punggung Irene, "Bunda sangat sayang ke kamu kok. Dia senang kamu bisa jadi menantunya."

"Iya, Gana. Apa pun yang terjadi tetap di sisiku ya, Gana."

"Pasti, seumur hidupku aku tidak akan meninggalkanmu."

Bersambung...

Unpredictable NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang