“Kenapa? Sakit?” Gevan melirik Vanza. Ia heran sendiri, kenapa Vanza diam saja. Mulutnya seakan terkunci rapat. Wajahnya juga pucat.
Ini pas ditinggal ke toilet tadi Vanza tidak dibully lagi kan?
“Za!”
“Hah?” Vanza tersentak kaget membuat Gevan menggelengkan kepala.
“Ngelamunin apaan? Serius banget kayaknya. Kenapa pucat? Sakit?” tanya Gevan mengulang pertanyaannya.
Vanza langsung menggeleng. “Nggak kok.” Hatinya saat ini tengah resah. Dihadapkan dengan kesempatan yang tidak mungkin datang untuk kedua kalinya, Vanza memilih menyelamatkan dirinya dengan menghapus vidio yang terkirim ke ponsel Gevan tadi.
Semua salah kakaknya. Walau itu adalah fakta yang tidak bisa dielak lagi. Namun Vanza tahu, dirinya ajang balas dendam itu.
Tidak mungkin rasanya saat Gevan melihat vidio itu, dia akan langsung mencari Arran dan membunuhnya. Pasti yang pertama dilakukan adalah melampiaskan amarah padanya.
Bukanlah sudah cukup menyakitkan dan menyiksa yang diberikan Gevan selama ini?
Ia tidak bersalah.
Kak Gea, maafin aku.
Batin Vanza terus menggumamkan kata maaf.
Vanza sangat ingin menangis sekarang. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa di fokus. Hatinya digerogoti rasa ketakutan.
Apa Gevan akan marah begitu tahu ia menghapus vidio yang entah seharunya dilihat atau tidak oleh laki-laki itu.
“Kenapa sih?” gumam Gevan berdecak sebal. Ia langsung menepikan mobilnya dan menangkup wajah Vanza lembut. Ia menatap intens pada mata perempuan itu. “Kenapa?” tanyanya dengan suara rendah dan penuh kelembutan.
Entah apa yang terjadi pada kesayangannya ini. Gevan tidak bisa menebak pikirkan Vanza. Ia bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang. Namun satu yang pasti, Vanzanya sedang tidak baik-baik saja.
Vanza menggeleng.
Gevan menghela napas panjang karenanya. Ia lalu menarik Vanza untuk jatuh ke pangkuan dan pelukannya. “Jangan takut.”
Entahlah, yang Gevan tahu dari tatapan Vanza perempuan itu ketakutan. Tidak tahu takut apa. Lagi pula bagaimana ia bisa tahu sih, kalau Vanza sendiri tidak mau ngomong.
Gevan mengecup pelipis Vanza. “Kalau mau nangis, nangis aja. Nggak usah ditahan-tahan,” bisiknya.
Hangat. Pelukan ini kali ini terasa hangat dan nyaman. Vanza menenggelamkan wajahnya di dada Gevan. Ia terisak pelan di sana.
Hatinya kacau. Takut. Vanza takut. Ia sangat merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Gea. Sedikit banyak ingatannya yang muncul, semua hanya tentang bagaimana kelakukan Arran pada Gea.
“Kenapa sih?” Gevan kepo. Kalau ada yang menggangu Vanza lagi, sini biar dia bantai sekalian. Kebetulan tangannya masih gatal ingin meninju wajah seseorang.
“Siapin dulu nangisnya baru lepasin pelukannya," cegah Gevan langsung menekan kepala Vanza begitu perempuan itu mau melepaskan pelukan.
Kelewat nyaman, Gevan tidak mau cepat-cepat kehilangan. Toh, Vanza juga diuntungkan. Pelukannya ini menenangkan bukan menyakitkan. Dulu juga kalau kakaknya nangis, ia peluk sebentar sudah tenang dan bahkan tertidur. Vanza harusnya tidak menyia-nyiakan kenaikkannya ini.
“Kak Gevan,” panggil Vanza dengan suara serak sesekali diiringi dengan isak tangis.
“Hm?” Gevan menyahut pelan. Dia menumpukan dagunya di puncak kepala Vanza kemudian memejamkan mata. Terlihat tenang dan damai.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEVANO [Living with the Devil]
Romance🔞🔞 Gevan penuh dendam. Setelah kematian sang kakak dengan cara yang begitu sadis, Gevan merasa hidupnya hancur. Belum lagi kecelakaan yang terjadi saat ia hendaknya menyelamatkan sang kakak, membuat kakinya mengalami kelumpuhan. Vanza satu-satunya...