MERAH 19

69 26 77
                                    

19. Asing?

"Neng ...." Pria berjanggut itu menggoyangkan pelan badan seorang gadis yang terlelap di samping makam. "Neng, bangun, Neng."

Perlahan kelopak mata itu terbuka. Gadis berpakaian hitam tersebut mendudukkan diri. Mengernyit melihat jaket kulit berwarna hitam tersampir di bahu kanannya.

"Saya bukannya ngusir, ya, Neng,"- Petugas pembersih makam menunjuk langit-"Mau hujan. Mending Neng pulang."

Rouge mengikuti arah tangan si Bapak. Langit Bogor yang beberapa saat lalu sangat terik sudah dipenuhi awan gelap. Geledek terdengar tak lama setelah kilat petir menyambar.

"Makasih, Pak, udah dibangunin," kata Rouge.

"Sama-sama, Neng," balas si Bapak bangkit dari jongkoknya sambil memegang sapu lidi. "Saya duluan, ya."

"Pak," panggil Rouge membuat si Bapak tak jadi melangkah, "Bapak tau jaket ini punya siapa?"

"Punya Neng lah."

"Bukan, Pak."

Kening si Bapak mengerut. "Ya, terus?"

"Simpen aja, Neng. Siapa tau ntar orangnya nyamperin Neng, ngambil balik jaketnya," sarannya kemudian pergi.

Rouge memandangi jaket tersebut. Siapa gerangan yang memilikinya?

Aroma maskulin yang tercium membuktikan kalau jaket tersebut bukanlah milik kembar Eraldo. Raphael pun tidak mungkin karena cowok itu memakai parfum beraroma kayu cendana.

Angin berhembus kencang menggoyangkan akar gantung pohon beringin juga menjatuhkan beberapa daunnya. Hawa dingin tetap menembus kulit meskipun bajunya berlengan panjang.

"Pakai aja kali, ya?" monolog Rouge.

Setelah memakai jaket, Rouge buru-buru memasukkan beberapa lembar hasil ulangan harian dengan nilai sempurna ke tas selempangnya.

Sudah jadi kebiasaan Rouge jika memperoleh suatu hal yang membanggakan ia akan menceritakannya kepada Rogan.

"Pa, aku pulang dulu. Papa baik-baik di sana." Rouge mengelus nisan Rogan penuh sayang lalu angkat kaki sembari menghubungi Pak Wir untuk menjemputnya.

•••••

Seorang waitress mendorong troli berisikan seporsi udang galah bakar madu, tiga paket nasi timbel gurami, dan semangkuk sop seafood. Tak lupa empat gelas minuman berbeda rasa.

Semua pesanan itu diantarkan ke meja nomor 10. Ada Widama dan kedua anak laki-lakinya yang sudah menunggu kurang lebih setengah jam.

"Silakan dinikmati."

"Terimakasih, Mbak," balas Widama disusul Arief dan Avo.

Bukan deburan ombak yang menemani acara makan kali ini, melainkan kicauan burung yang menari-nari di udara.

Restoran seafood yang mereka kunjungi berada di sebuah bukit penuh pepohonan hijau. Air mancur dan kolam ikan hias turut menambah keasrian.

Sangat luas dan menenangkan.

"Gimana sekolahmu, Vo?"

Arief menendang pelan betis Avo yang tampak fokus dengan makanannya.

Adiknya itu memandang dengan tatapan: Apa?

"Papih nanya, 'gimana sekolahmu, Vo?' " Arief mengulang pertanyaan Widama.

"Baik," jawab Avo.

"Avo lagi suka cewek, Pih," celutuk Arief membuat Avo tersedak dan buru-buru meminum vanilla milkshake miliknya.

MERAH: Ambisi, Dendam & Masa LaluWhere stories live. Discover now