🐣 008 🐣

3.1K 320 29
                                    

🐥 Happy reading 🐥

.

.

| Hiraeth |

.

.

"Havid kenapa?"

Pertanyaan lirih dari Ethan kali ini tak mendapat jawaban, pemuda penyuka kekerasan atau bisa di bilang masokis itu sedang terlihat marah.

Ray menyodorkan air aqua yang masih tersegel. "Aqua dulu."

"Kayaknya lu harus pulang cepet."

Ethan menyerngit bingung. "Ethan gak mau bolos, nanti papa marah."

Ray menerima kembali botol Aqua yang tersisa setengah, lalu menyodorkan pisau lipat kecil ke arah Havid. "Harta atau nyawa?"

"Plis Ray, gue serius kali ini."

"Bentar." Ray menoleh, kedua tangannya meremat pelan bahu Ethan dan menatapnya dengan penuh keseriusan. "Telfon Angkasa, kamu sama dia dulu."

"T-tapi Havid ken--





"Ethan? Ada yang nyariin kamu di depan."

Havid buru buru mengambil satu sisa kotak kecil puding untuk menyuap temannya. "Kayaknya Angkasa, nanti kita nyusul."

Ethan mengangguk, ia menerima pemberian Havid dan berjalan pelan keluar kelas.

Di depan teras setiap kelas pasti selalu ada bagian tanah yang di tumbuhi tanaman dan satu pohon untuk satu kelas, di tengahnya selalu ada dua atau tiga bangku besi.

Di sana ada Angkasa yang duduk dengan satu kaki yang terus bergerak. "Asa? Kamu bolos?"

Angkasa menggeleng. "Aku di berkati ilmu albert einstein, kamu harus ikut aku."

"Umh . . Ethan ga mau bolos."

"Bukan sayang, guru lagi rapat katanya ga bisa ngajar."

"Kok Asa tau? Kan ga sekolah di sini."

"Aku tau segalanya, kamu cinta ke aku aja aku tau."

Tanpa persetujuan Angkasa langsung mengangkat tubuh Ethan agar mereka cepat pergi, ia tak bisa santai jika menyangkut keselamatan Ethan.

Entah kenapa Ethan selalu dapat menenangkannya jika berada sangat dekat.

"Helmnya mana?"

Angkasa menepuk jidatnya, biasanya ketika mendapat izin dari Alex dan Sagara, Angkasa selalu menyiapkan Helm bogo dengan stiker lucu untuk keselamatan Ethan.

Tapi kali ini ia hanya punya satu, hadiah dari Raihan.

"Pake ini gapapa?"

Ethan merengut. "Bau keringet."

"Aku kasih parfume mau?"

"Enek."

"Terus gimana, dong?"

"Terserah."

Angkasa memasang wajah frustasi. "Sayang, kamu slepet aku juga gapapa kok sekarang. Aku ikhlas."

🐥 Hiraeth 🐥

"Gue ga tau kalo cewe yang kita bunuh bareng om Alex salah satunya punya abang dan banyak koneksi, mereka ga berani lawan om Alex yang udah pasti lebih kuat."

"Jadi?"

"Ray . . Selama ini kita minta bantuan geng alumni buat ngelawan sekolah lain itu karena dia punya dendam sama kita."

"Gue kira buat keren kerenan."

"Dan sekarang mereka mulai lebih berani, gue dapet pesan dari nomor ga di kenal. Katanya sekolah kita jadi sasaran."

"Terus? Harta warisan keluarga gue ga bisa nurun ke gue, vid."

"Bacot anda, minta tolong geng kelas sebelas aja yang sering tauran, ntar lu kasih bayaran. Gausah komen, ntar gue kasih tau toko pisau yang keren."

"Oke, deal."

Mereka berdua masih di dalam kelas, hanya berpindah posisi menjadi atas lantai belakang kelas.

Havid membaringkan kepalanya di atas paha Ray yang berselonjor, manik itu memejam.

"Suruh yang lain pergi gak?"

"Jangan."

"Kenapa, emang?"

"Keknya seru liat mereka ketakutan."


🐥 Hiraeth 🐥

.

.

Hei kamu, iya kamu.

I love you, dear

Hiraeth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang