004🧁 Who and why Denira?

10 2 0
                                    

Menertawakan diri sendiri. Sepertinya memang pantas untuk dilakukan setelah ia mendapati sepatunya hilang sebelah setelah ia selesai praktek, berterima kasih kepada keadaan, karena sampai detik ini. Masih belum mau berpihak padanya. Mengejek semesta setelah ia mendapati meja dan kursinya penuh dengan sampah dan juga coretan-coretan spidol berupa kalimat-kalimat yang memang pantas diberikan untuk seorang pecundang seperti dirinya.

Membiarkan hujan lebat itu mengguyur tubuhnya yang lemah tak berdaya. Berjalan menyusuri jalanan tanpa alas kaki. Tak peduli dengan bebatuan tajam atau benda lain yang dipijaknya. Mungkin, saat ini kedua telapak kakinya sudah terluka dan bedarah. Namun, rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

Rusaknya mental seseorang, seolah-olah menjadi sebuah hiburan untuk mereka yang berpenguasa. Merebut segalanya, kebahagiaan seseorang sekalipun. Menindas yang lemah, berjalan angkuh. Dagu terangkat tinggi, seolah-olah. Mereka mengatakan. Dunia saja tunduk pada mereka.

Tidak ada yang bisa gadis yang duduk di bangku kelas 10 itu, lakukan. Ia hanya pasrah, membiarkan anak-anak yang sudah kaya sejak lahir itu, menindasnya.

Gadis yang bisa masuk ke SMA favorit berkat bantuan pemerintah seperti dirinya. Tidak pantas melawan, gadis yang sejak kecil sampai sebesar ini, tumbuh di panti asuhan seperti dirinya. Memang pantas diperlakukan dengan buruk oleh semua orang. Gadis yang sudah belajar dengan giat. Namun nilainya dimanipulasi oleh Guru. Seperti dirinya ini, memang pantas untuk mengakui. Bahwa ia. Tak lain, hanya sekadar manusia pecundang yang tidak seharusnya terlahir ke dunia.

Panggil saja Denira. Gadis yang selalu bertekad, untuk balas dendam kepada kedua orang tuanya yang telah menghancurkan hidupnya. Meskipun sampai detik ini, ia belum menemukan siapa orang tua jahat yang telah membuangnya ini.

Suara hujan yang begitu berisik, tentu menjadi penolong untuk membantu menyembunyikan suara tangisannya yang mengusik, lebatnya air hujan yang turun membasahi semesta. Membantu menyamarkan air mata yang terus mengalir deras membasahi pipinya.

Andai, kedua kaki ini bisa lebih kuat untuk berdiri, andai. Kedua telapak tangan ini bisa lebih erat terkepal. Andai, tak ada lagi yang dipendam. Dan, andai, mulut ini mau terbuka lebih lebar dan berteriak dengan lantang. Mungkin, mereka. Yang orang tuanya sangat berpengaruh untuk sekolah. Tidak akan berani meneriakinya dengan kalimat-kalimat kasar. Mungkin, mereka, yang nilainya dimanipulasi oleh Guru sehingga nilai mereka menjadi bagus. Tidak akan berani memperlakukannya seperti seorang pembokat yang bisa seenaknya mereka suruh-suruh. Mungkin, jika ia bisa lebih kuat dan lebih berani. Mungkin, mereka yang tak pernah bosan merundungnya itu. Tidak akan berani untuk mengusik ketenangannya. Namun, sayang sekali. Pada kenyataannya. Ia tidak pernah diberi kesempatan untuk melawan. Keadaan selalu menjadikannya makhluk paling lemah.

"Biar Ibu siapin susu hangat buat kamu, ya."

Denira, hanya mengangguk lemah. Duduk tak bersemangat sambil menatap kosong dinding putih polos yang ada di depannya. Seluruh tubuhnya basah, namun, ia tak ada niatan untuk segera berganti pakaian. Denira berharap, rasa dingin ini bisa segera membunuhnya. Denira, sudah tidak ingin hidup lagi.

Sofa yang ia duduki. Bergoyang saat Ibu menjatuhkan bokongnya tepat di sampingnya. Denira hanya diam saja ketika Ibu menyelimuti tubuhnya dengan handuk tebal.

Sementara itu, asap dibiarkan mengepul dari susu yang masih panas itu.

"Ibu sanggup kok nyekolahin kamu di sekolah lain." Hampir setiap hari, Ibu melihat Denira pulang selalu dalam keadaan yang sama. Berantakan, sekaligus. Terlihat begitu menyedihkan.

Tanpa harus bercerita pun, Ibu sudah tahu apa yang dialami Denira di sekolah.

"Sampai detik ini, aku masih enggak tau, alasan Tuhan. Kenapa masih ngebiarin aku hidup. Padahal, dia tau. Kalo aku, cuma pengen mati."

KEFANNAWhere stories live. Discover now