19 | Sembilan Belas

47 6 1
                                    

Tepat jam empat sore.

"Mau ke mana, siiihh? Buru-buru banget kayaknya."

Angga yang sedang tergesa merapikan meja kerjanya, membuat Gusti mengalihkan perhatiannya dari game yang sedang dimainkan.

"Mau balik."

"Baru juga jam empat lho, Ngga."

"Justru karena udah jam empat, makanya gue mau balik. Gue ada janji sama Luna."

"Bilang aja mau pacaran."

"Duh, jomlo can't relate."

Gusti mendadak bete. "Nggak usah pakai ngebacain gue gitu bisa nggak, sih?"

"Enggak," jawab Angga sambil tertawa terbahak. Cowok itu lalu meraih tas ranselnya dan berlalu melewati Gusti seraya pamit. "Dah, ah. Bye, Gusti."

Jelas ada sebab penting yang bikin Angga bergegas pulang. Hari ini dia sudah punya janji untuk merayakan ulang tahunnya di rumah. Bukan perayaan yang besar dan ramai. Hanya syukuran dan makan malam bareng. Mumpung Gama masih cuti besar, jadi semua penghuni rumah diminta berkumpul.

Sebagai tambahan, undangan khusus diberikan ke Luna sebagai calon mantu kesayangan.

Dari kantornya, Angga bertolak dulu ke kantor Luna untuk menjemput gadis itu, baru setelahnya mereka pulang ke rumah. Jalanan sudah cukup padat oleh kendaraan yang berlalu-lalang menuju tempat tujuan masing-masing. Beruntung, Angga cukup gesit mengendarai motornya dan cukup paham jalan mana saja yang bisa dijadikan jalur alternatif jika terjadi kepadatan lalu lintas.

Setibanya di rumah, Angga dan Luna disambut oleh Gama yang baru saja selesai menyiram tanaman. Tampak pria paruh baya itu sedang merapikan selang air yang baru saja dipakai.

"Halo, Luna. Ayo, masuk, masuk." Gama menyambut ramah kedatangan pacar si sulung.

"Halo, Om." Luna balas menyapa Gama, seraya meraih tangan kanan pria itu untuk salim.

"Om udah nungguin kamu dari tadi, lho."

"Luna aja, nih, yang ditungguin? Anaknya sendiri enggak?" tanya Angga.

"Ya, nungguin juga, lah. Nungguin kapan kamu minta Papa dateng ke rumah Om Bimo buat ngelamar anak perempuannya."

Angga mendelik mendengar penuturan ayahnya. Kelewat jujur banget. Seluruh wajahnya bahkan sampai memerah karena menahan malu. Bikin Gama dan Luna tertawa geli.

Sesi makan malam bersama dimulai selepas solat maghrib, sekitar jam setengah tujuh. Rega jadi yang terakhir sampai di rumah. Macet tak tertahan di kawasan Sudirman, bikin mobilnya melaju perlahan.

Di tengah sesi makan malam yang cukup ramai karena diselingi oleh obrolan ringan dan sedikit kerusuhan yang disebabkan oleh Johny⎼⎼ kucing abu-abu itu sukses "mengamankan" sepotong paha ayam goreng yang Imelda simpan di counter dapur⎼⎼ hingga membuatnya mesti meringkuk sementara di dalam kargo, terdengar raungan ponsel Angga yang tak kunjung berhenti selama beberapa saat. Mulanya Angga enggan menanggapi dering ponselnya itu, tapi kok lama-kelamaan bikin berisik juga.

"Mas, hp-nya bunyi mulu, tuh. Telpon penting kali," ujar Andra.

Posisi Andra yang sedang makan dan duduk lesehan di atas karpet sambil menonton TV, jelas lebih dekat dengan ponsel Angga yang ditinggalkannya di sofa.

"Lihatin dong, Ndra, dari siapa," pinta Angga.

Andra pun memutar badannya ke belakang, menghadap sofa, untuk mengecek ponsel masnya itu. Satu nama kontak muncul di daftar missed calls. "Ajeng."

2 3 4 + 1, Kami SaudaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang