33 | Tiga Puluh Tiga

22 2 0
                                    

Sekar kira ajakan Rega kemarin hanyalah senda gurau, omongan sambil lalu. Tapi sudah lewat beberapa hari pun, Rega sama sekali tak menarik ucapannya. Cowok itu benar-benar serius. Dan tiap kali mengingat momen itu, jantung Sekar masih saja suka dag-dig-dug tak jelas.

Yok, kita sama-sama jatuh cinta.

Kan, pipinya jadi bersemu merah lagi. Sekar meletakkan kedua tangannya di pipi, merasakan panas yang menjalari wajahnya tanpa permisi. Dalam waktu yang bersamaan Sekar bisa merasa senang, excited, tapi juga bingung dan aneh. Lalu juga ada sedikit rasa tidak percaya.

Benar kayak gini nggak sih rasanya jatuh cinta?

Sekar seperti butuh bantuan untuk memvalidasi perasaannya saat ini. Terakhir kali dia jatuh cinta, rasanya sudah berselang cukup lama. Kalau dia ingat-ingat lagi, kurang lebih rasanya sudah mirip. Tapi karena ini Rega, jadi kayak ada sesuatu yang lain. Selama mereka berteman, sikap Rega yang bisa mengerti dan mau mendengarkan, bikin Sekar merasa lebih disayang.

"Lo berasa aneh nggak?" ucap Sekar di suatu perjalanan pulang dari kantornya menuju apartemen. Menepati janjinya, Rega datang menjemput.

"Aneh gimana maksud lo?" Rega balik bertanya.

"Kita ini apa? Jujur ya, Re, gue merasa kayak lagi krisis identitas."

Dahi Rega berkerut samar. Agak terkejut dengan pertanyaan dan pernyataan Sekar barusan.

"Kita itu teman."

Sekar refleks menolehkan kepala, memberi Rega sebuah tatapan yang penuh dengan tanya.

"Teman yang dalam tahap naik status jadi seseorang yang lebih istimewa buat satu sama lain," sambung Rega.

"Semacam teman tapi mesra gitu?"

Sesaat Rega mengalihkan perhatian dari padatnya jalanan untuk kemudian menatap Sekar yang duduk di sampingnya.

"Kita bukan seperti itu. Kalo disebutnya teman tapi mesra, gue malah jadi merasa nggak ngehargain lo sebagai perempuan. Karena niat gue udah mentok pengen serius. Gue nggak tahu mau jatuh cinta sama siapa lagi, Kar, kalo bukan sama lo. Tapi misal lo merasa ini kecepatan, gue⎼⎼"

"Nggak kok, Re!" Sekar buru-buru memotong. "Gue nggak merasa ini kecepetan."

"Lo yakin?"

"Hm... Tadinya enggak."

"Terus?"

Sekar kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya menatap lurus ke depan. Ke arah barisan mobil dan motor yang tertahan berhenti di sebuah persimpangan karena lampu merah.

"Tadinya gue bingung, nggak tahu mesti gimana buat nanggepin. Kayak yang tiba-tiba banget lo ngomong gitu."

"Makanya kemarin lo sempet nggak mau ketemu gue?"

Pertanyaan Rega dijawab Sekar dengan anggukan kepala. Bukannya Sekar bermaksud menghindar. Dia cuma mendadak merasa tidak siap bertemu tatap muka dengan Rega.

"Hehe."

Rega pun manggut-manggut. "Bisa dipahami."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
2 3 4 + 1, Kami SaudaraWhere stories live. Discover now