#HINAME8

528 79 5
                                    

"(name) tidak apa-apa? Sepertinya pipinya sakit.."

"Ah- Hinata-kun, maaf membuatmu menunggu. Sudah lama?"

"Iee, terima kasih sudah mau meluangkan waktu Kojima-san untuk menemaniku."

"Sama-sama, Hinata-kun. Kalau begitu, ayo pergi?"

"Ayo!"

;

Pukul 8 malam, saat [name] telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Menyapu? Mengepel? Cuci piring? Mencuci pakaian? Semuanya disikat habis oleh gadis berusia 16 tahun itu. Mengapa tidak? Karena tak ingin berfikir macam-macam mengenai sang suami yang sedang jam "latihan voli", [name] terpaksa harus mengalihkan pikirannya dengan melakukan semua hal yang bisa dilakukannya. Agar benaknya tak menguasainya.

Dan sekarang, [name] telentang diatas kasurnya akibat tak ada lagi yang dapat dikerjakannya sebagai pengalihan pikirannya. Alhasil, was-was dalam hati remaja itu kembali berkecamuk dalam hati kecilnya.

"Haahh.. Aku tidak suka perasaan ini.."

[name] tidak bisa menyangkal, bahwa di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih mengkhawatirkan sang suami. Bagaimana jika pikiran jahat dalam dirinya benar? [name] harus bagaimana jika itu benar-benar terjadi?

Tidak sanggup. Dada [name] terasa sesak. Bak air matanya tak sanggup lagi menampung cairan bening itu, hingga tumpah dan membasahi pipi sang gadis.

[name] memeluk boneka beruang berwarna cokelat yang duduk di sudut tempat tidurnya. Itu adalah hadiah pemberian Hinata.

"Ini untuk menggantikanku saat aku tidak bisa menemanimu di rumah, [name]. Tentu saja yang kumaksud adalah saat aku latihan voli."

"Tapi kau harus menyingkirkan boneka ini kalau aku ada di rumah. Jangan peluk dia, peluk aku."

Secercah senyum manis hadir di bibir tipis [name]. Dia teringat perkataan sang suami saat memberikan boneka beruang itu padanya.

Karena perasaannya sudah tertata kembali, [name] duduk di atas tempat tidurnya, menampar kedua pipinya bersamaan, kemudian bangkit dan berjalan ke dapur. Sudah hampir pukul 9, artinya Hinata seharusnya sudah hampir kembali. Maka dari itu, [name] segera mempersiapkan makan malam untuk sang suami.

Di dapur, aku memasang celemek merah mudaku, mengikat surai [h/c]ku agar tak mengganggu.

Pukul 9 lewat, makan malam kami telah siap disajikan. Menu hari ini adalah tamago kake gohan kesukaan Hinata, juga karaage dan saus asam manis khas [name].

Lengkap sudah meja makan kini dihias oleh sajian [name], hanya kurang satu. Hinata belum juga pulang. Karena ingin tahu mengapa suaminya belum pulang juga, maka diambillah ponsel pintar milik [name], kemudian ia menghubungi Hinata.

Dering pertama.. Dering kedua.. Dering ketiga.. belum juga diangkat.

Kemana sebenarnya Hinata? Kenapa ia belum juga pulang? Khawatir akan suaminya, [name] memberanikan diri menelfon rekan setim Hinata. Kageyama Tobio. Kebetulan saja, [name] dan Kageyama merupakan teman sekelas. Walau ingin menyimpan nomor Kageyama itu terbilang penuh tantangan bagi [name]. Bagaimana tidak? Lelaki penuh misteri itu jarang berada di kelas jika bukan jam pelajaran.

Dering pertama.. Dering kedua.. Dering ketiga.. masih belum diangkat.

Di dering terakhir, saat [name] mulai putus asa karena panggilannya tidak terjawab, di seberang sana, Kageyama mengangkat telefonnya.

"Halo."

Secercah senyum terukir di wajah manis [name].

"Ah, halo. Selamat malam, Kageyama-san. Maaf menghubungi malam-malam begini.."

Jeda beberapa saat.

"Tidak masalah. Hinata..-san? Ada keperluan apa menghubungiku?"

Aku menelan ludahku dalam-dalam saking gugupnya.

"Ehm, begini.. Aku ada urusan dengan Hinata Shoyo dari kelas 1–1, tapi dia tidak mengangkat telefonnya. Aku kira dia masih latihan voli, tapi ini adalah urusan penting..

"..Karena itu, aku menelfon Kageyama-san. Aku ingin meminta tolong untuk menyampaikan pesan kepada Hinata-san untuk menelfonku karena ada urusan penting."

Aku mengatakannya..

Di seberang sana, Kageyama tengah mengerutkan alis kebingungan. Ada yang aneh dari pernyataan perempuan itu di telinganya.

"Aku tidak bisa, Hinata-san."

[name] mendadak panik.

"E-eh? Kenapa, Kageyama-san?"

"Kami tidak latihan hari ini. Pelatih Ukai meliburkan kami hari ini. Maaf, tidak bisa membantumu.."

Ah, tiba-tiba saja dada [name] terasa sesak. Seluruh asumsi buruk tentang suaminya yang tadinya berhasil ia bungkam, kini kembali mendominasi benaknya. Tak mampu berkata-kata lagi, [name] terduduk di lantai dengan pandangan kosong ke depan.

"...Hinata-san? ..hinata-san?"

Tuk.
Sambungan terputus.

Tentu saja [name] yang mengakhirinya. Dia tak ingin suara tangisnya terdengar oleh teman sekelasnya. Butir-butir cairan bening membasahi pipinya.

Berantakan sudah benar [name]. Perutnya yang tadi bergairah menunggu mencerna tamago kake gohan dan karaage sudah sirna akibat pernyataan Kageyama.

[name] ingin menyangkal semua dugaan di benaknya. Ingin sekali. Ingin sekali dia berlari ke Hinata dan meminta mengatakan bahwa apa yang difikirkannya itu jelas mitos belaka.

Katakan bahwa itu kebohongan yang kejam, Sho-chan..

Ck...lak!

Terdengar suara pintu yang terbuka dari arah ruang tamu. Mungkin saja itu Hinata. Berat rasanya [name] menemui sang suami setelah mendengar kenyataan bahwa dirinya dibohongi.

Tapi walau begitu, hatinya butuh penjelasan. Langsung dari orangnya.

Kakinya melangkah menuju asal suara. Kedua tangannya menyeka air mata yang membuat garis mata itu merah. [name] menemui Hinata yang tersenyum di ambang pintu yang baru saja selesai melepas sepatunya.

Hinata yang hendak melebarkan tangannya untuk mendekap istrinya kemudian memasang raut wajah kaget. Bukan senyum selamat datang yang didapatinya, melainkan wajah merah dengan jejak tangis di bawah mata sang istri.

"Sayang,, ada ap–"

"Kau berbohong. Kau membohongiku."








  。。。。。
こんいちわ !
  。。。。。

.tbc.

𝐀𝐍𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑 𝐒𝐈𝐃𝐄 𝐎𝐅;𝐒𝐄𝐑𝐈𝐄𝐒 [𝐇.𝐒𝐇𝐎𝐘𝐎 𝐗 𝐑𝐄𝐀𝐃𝐄𝐑]Where stories live. Discover now