Penyusup

86 17 11
                                    

Setelah lama berputar-putar, mereka sampai di akhir jalan. Buntu, mereka berdua saling tatap satu sama lain.

"Mau berputar lagi?" tanya Dara spontan.

Dion mengangguk. Mereka kembali berputar menyusuri lorong demi lorong.

Rasa cemas Dara sudah berkurang. Gadis itu terlihat menikmati perjalannya. Bahkan ia sudah seceria tadi. Yah, kalau sudah ada teman Dara tidak akan merasa panik. Ia takut sendiri, trauma masa lalunya membuatnya seperti ini. Selalu ingin di temani oleh siapapun, walaupun hanya seekor hewan setidaknya ada yang di ajaknya bercerita.

Dan lagi, Dion sudah muak mendengar Dara yang sibuk berkicau mengenai hewan peliharaannya. Laki-laki itu memasang tampang lelah sambil beberapa kali memperhatikan Dara yang heboh sendiri.

"Terus akhirnya si Milo pulang, deh. Padahal aku udah ikhlasin dia pergi," ucap Dara menutup ceritanya.

Dion berdeham pelan. Langkahnya berhenti, di susul dengan Dara. Ia mendengar sesuatu, pelan sekali. Seperti desiran halus yang menerjang indra pendengarnya.

"Kok berhenti?" tanya Dara.

Dion memberi kode untuk diam. Ia memperhatikan sekeliling dengan seksama. Tembok-tembok di sekitarnya mulai berpindah. Lampu-lampu di atas berkedip dengan cepat.

Lengan Dara langsung berkalung di pinggang Dion. Gadis itu merasakan hawa tak enak. Seakan sesuatu tengah terjadi dan sedang mendekati mereka.

Lampu serempak padam.

Sunyi, suara napas mereka yang berderu cepat terdengar cukup keras. Satu sama lain tidak ada yang berani berbicara. Tatapan intens mereka menyorot sekeliling yang gelap. Di ujung jalan, tiba-tiba berpendar cahaya merah bertuliskan 'keluar.'

"Itu pasti jalan keluar! Kita kesana aja." Baru saja Dara melangkah, Dion langsung menarik lengannya.

"Itu jebakan."

"Dari mana kamu tau? Jelas-jelas itu bertuliskan keluar. Pasti itu jalan keluarnya," tukas Dara cepat.

"Peraturan penting dalam permainan ini adalah, jangan pernah percaya apapun yang kamu lihat kecuali itu sudah pasti," tekan Dion. Entah Dara menerima atau tidak yang jelas ia merasakan ada sesuatu yang buruk di dalam ruangan itu.

"Bagaimana kita bisa tau itu pasti atau bukan kalau kita nggak mengecek pintu itu?" tanya Dara kesal.

"Aku lebih percaya dengan feelingku ketimbang pintu itu, Dara." Dion memberi penekanan di akhir, memberi isyarat kalau ia tidak ingin membahas itu lagi.

Lampu tiba-tiba menyala. Lorong putih kosong menyambut mereka. Tidak ada apapun di sana kecuali pintu keluar dan lorong kosong panjang di depan mereka.

"Area satu," ucap Dion spontan.

"Jadi kalau kita menuju pintu itu, bisa jadi kita pindah ke area sebelumnya?" Dara menunjuk pintu yang ingin ia buka tadi.

Dion mengangguk mengiyakan.

"Tunggu, perasaan tadi kita nggak masuk pintu apa-apa, kenapa kita tiba-tiba ada di area satu?" Dara mulai kebingungan. Memang benar, seingatnya ia tidak ada masuk ke dalam ruangan atau memasuki lorong selain area 0 tadi. Ia hanya putar balik, dan tiba-tiba lampu mati lalu berubah menjadi area 1.

Apakah ia sudah berada di stage berikutnya?

"Aku jawab nanti. Kita ikuti lorong ini dulu," ucap Dion langsung menarik tangan Dara.

Dara tak menolak, ia langsung mengikuti Dion dari belakang. Walaupun masih di pusingkan dengan pertanyaan yang tidak masuk akal, tapi lebih baik ia menuruti saja, karena Dion yang lebih paham dengan semua ini.

DOMEWhere stories live. Discover now