Endure

20 5 6
                                    

"LIM! TUNGGU AKU!"

Rio terpogoh menyeret kakinya yang sudah banyak mengeluarkan darah. Laki-laki berbadan gempal itu terlihat sangat kesusahan mengatur nafasnya yang sudah berangsur pendek. Ia menatap nanar temannya yang sudah jauh berada di depan. Tak menggubris suara teriakan yang terus ia keluarkan.

Bertahanlah! Rio melihat sebuah pintu di ujung. Begitu ia sampai, ia akan selamat. Ia melirik sedikit ke belakang, dua makhluk hitam besar tengah mengejar mereka. Makhluk itu juga yang sudah membuatnya seperti ini.

"LIM!" pekiknya lagi.

Masih tidak ada respon dari laki-laki itu. Mungkin karena suara geraman makhluk di belakangnya yang meredam suaranya.

Sedikit lagi! Pintu besi itu sudah berada di depannya. Dan Lim! Laki-laki itu melambai kepadanya. Wajahnya tersenyum kepadanya. Ah, akhirnya!

Air mata tak terasa keluar, ia sangat bahagia karena dirinya akan selamat saat ini. Jantungnya kian berdebar. Langkahnya di percepat, rasa sakit dari luka yang menganga di kakinya tak di hiraukan lagi. Meringis kesakitan, dengan penglihatan yang mulai kabur.

Pupilnya mulai mengecil. Detak jantungnya seakan berhenti sebentar. Apa ini?

Tangan kurus Lim mendorongnya menjauh pintu. Rio menatap senyum miring di wajahnya yang berbalut kacamata. Laki-laki itu melambai bukan kepadanya. Tapi kepada makhluk itu.

Pintu perlahan menutup. Menyisakan kegelapan yang mulai menyelimutinya.

"Lim, kenapa? ..."

Pietro mengetuk dahinya sembari melihat ke kiri dan ke kanan. Kini dirinya berada di tengah-tengah pertigaan. Entah kiri atau kanan jalan yang dilalui tadi untuk sampai ke tempat berkabut itu.

"Argh, ini sulit. Kedua jalannya terlihat sama. Bagaimana aku bisa menemukannya?" kesal Pietro. Badannya berbalik menatap lelah pada Wendy.

"Ck, ayolah. Hanya kamu yang duduk di depan tadi bersama paman Bruce. Masa tidak ingat?" tanya Wendy ketus.

Helaan napas panjang serta menggosok kepalanya yang botak. Pietro juga bingung dengan jalan di depannya. Ia memang duduk di depan tadinya, tapi dirinya tidak begitu memperhatikan. Semua orang sibuk mengobrol saat itu. Yang tau hanya Bruce.

"Kamu bilang jalan tadi sudah benar, tapi sampai di sini malah bingung," cerca Wendy.

"Hey, yang di mobil itu bukan hanya aku. Kamu juga ada di sana," tunjuk Pietro dengan telunjuknya.

"Aku tertidur sebelumnya. Jadi mana aku tahu," bela Wendy.

"Ah, sudahlah. Mungkin yang kanan." Pietro menunjuk jalanan di sebelah kanan tubuhnya.

Wendy menatap tak yakin, "benarkah? Kamu serius dengan itu?"

"Ya sudah kalau begitu yang kiri."

Wendy berdeham cukup lama. Kemudian menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak yakin," jawabnya.

Pietro mendengus gusar. Ia menggigit tangannya sembari menjatuhkan tubuhnya di atas aspal. Kalau begini sulit sudah. Kanan atau kiri, sama saja tidak ada bedanya. Keduanya di apit gedung-gedung tinggi. Di tambah tidak ada lampu, bagaimana cara membedakannya kecuali dengan arah mata angin?

"Begini saja, kamu ke kanan sementara aku ke kiri."

Ide Wendy terdengar sangat tidak masuk akal, "hey, kalau sudah ketemu jalannya bagaimana? Apa kamu tau kapan waktunya kita harus kembali di titik ini nantinya?"

"Benar juga."

Pietro mengangkat tubuhnya. Ia berjalan ke arah Wendy dan menepuk pundak gadis itu.

"Lagipula di sini sangat bahaya, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Wendy terkesiap dan langsung menampar pipi pria itu. Membuat Pietro menjerit pelan sambil memegangi pipinya yang panas.

"Apa-apaan kamu?" ringisnya menatap Wendy kesal.

"Maaf, aku reflek. Jangan sentuh aku!" Wendy memukul pundak besar Pietro.

"Ya santai saja, dong. Kalau memang tidak suka beritahu dari awal saja," ucap Pietro yang masih mengusap pipinya.

Wendy memutar bola matanya malas. Ia menaikkan tasnya. Kemudian menunjuk arah kanan tubuhnya.

"Baiklah, kita ke kanan dulu. Kalau memang tidak ada, baru kita ke arah sebaliknya."

Suara gaduh terdengar kencang dari luar. Dara berdiri membelakangi pintu, menahan dobrakan yang kuat dengan tubuh kecilnya. Gadis itu berpegangan pada sisi pintu. Memejamkan matanya serta mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan pintu.

"PERGI KALIAN!"

Gadis itu melonggarkan tenaganya, kemudian mendorong pintu itu sekuat-kuatnya. Nihil, mereka sama sekali tidak berpindah. Bagaimana ini? Posisi Dara saat ini sama sekali tidak bagus. Terpojok, di tambah luka pada kakinya kembali mengeluarkan darah.

Suara kaca pecah terdengar. Gadis itu menoleh dan mendapati sebuah tangan hitam panjang melesat ke arahnya. Tak mampu menghindar, tangan itu berhasil mencekik lehernya. Pertahannya tak stabil, pintu itu terbuka, sementara dirinya tertarik ke arah jendela.

Jeritan kuat keluar dari mulutnya. Sisi kanan wajahnya tertusuk belahan kaca yang tersisa di jendela. Makhluk itu terus memaksa untuk mengeluarkannya, membuat pipinya tergores dan menganga.

Tubuh Dara memberontak hebat. Gunting yang di genggamnya dengan cepat di tusukkan ke lengan makhluk itu. Tak kenal ampun Dara terus menghujaminya dengan gunting itu. Berhasil mengendur, Dara terjatuh di atas lantai. Dirinya memegang sisi wajahnya yang terluka. Goresan besar terbentuk dari pelipis sampai pipinya.

Makhluk-makhluk itu kini sudah berhasil masuk ke dalam rumah. Dara segera bangkit untuk berpindah posisi. Tubuhnya terhuyung-huyung, penglihatannya sudah mulai mengabur. Geraman terdengar dari makhluk-makhluk itu. Dara berlari ke arah dapur dan mengambil sebuah pisau.

Tangannya menghunus ke depan, sudah siap dia akan bertarung dengan keempat makhluk itu. Tubuh mereka masih tetap sama, tapi tangan-tangan mereka menghitam dan tajam.

"PERGI!" gertak Dara gemetar. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tau darimana keberanian ini datang.

Dara langsung berlari ke depan dan menebas salah satu kepala dari makhluk itu. Ia berteriak gigih, menghujani satunya lagi dengan pisau di tangannya. Bermandikan darah makhluk itu, Dara semakin liar untuk membunuh.

Benda tajam menusuk pinggangnya. Mengorek dagingnya di dalam. Dara berteriak kesakitan. Matanya menangkap sebuah tangan dari makhluk itu yang berhasil melukainya. Gadis itu menusuknya dan mencoba untuk memutuskan tangan itu.

"Arghh," ringisnya kala makhluk itu semakin dalam menusuknya. Dara merasakan tubuhnya sudah banjir dengan darahnya. Ia tak kuat lagi, matanya mulai berkunang-kunang.

"JANGAN APA-APAKAN DARA!"

Suara itu? Dara membuka matanya. Seorang laki-laki menabrak makhluk itu dan menyerangnya dengan brutal. Tubuh Dara terjatuh di atas lantai. Samar-samar ia melihat laki-laki itu yang kini tengah bertarung sendirian dengan ketiga monster. Sial, kenapa datang di saat dirinya sudah hampir sekarat.

Dara tak tahan lagi. Kegelapan sudah mulai menguasai matanya. Kesadarannya perlahan menghilang.

Apakah dirinya akan mati? Mungkin.

DOMEWo Geschichten leben. Entdecke jetzt