Countdown

19 2 0
                                    

Deru angin hangat menerpa wajahnya yang sayu. Matanya mengerjap beberapa kali dan perlahan terbuka. Di depannya sosok gadis tersenyum lebar. Menunjukkan dua buah roti dan dua botol air mineral.

"Ayo, makan!" ajak gadis itu.

Dion–laki-laki itu bergerak malas sambil merenggangkan tubuhnya. Ia bangkit dari kursi dan mengusap matanya. Gadis itu menariknya keluar dari ruang kelas kosong tempatnya tidur tadi. Kemana perginya, dia tidak tau. Hanya mengikuti arah berjalan gadis itu.

"Kemana?" tanya Dion.

"Tadi kak Wendy ngajak makan di kantin. Aku juga nemu banyak makanan di sana, termasuk roti ini." Dara mengangkat dua roti di tangannya.

"Roti juga?" tanya Dion lagi.

"Nggak, masih ada makanan lain. Mie instan juga ada, cuma masalahnya nggak ada mangkuk dan alat-alat makan lainnya."

Dion hanya ber-oh ria dan menatap ke arah depan. Lorong-lorong gelap dan lembab itu di lewatinya. Baunya sangat pengap, di tambah terlihat sekali jaring laba-laba yang tumbuh berserakan, dan tembok-tembok yang sudah berjamuran.

Ruang besar dan luas kini sudah di masuki-nya. Ternyata, di sana lah semua peserta sedang berkumpul. Dion juga melihat Axel dan Gio yang duduk tak jauh dari mereka. Axel tersenyum menyapa, melambai ke arahnya. Dion tak menggubris, ia membuang muka sambil mencari keberadaan Wendy dan Pietro.

"Dion, orang yang tadi menemukan kita melambai ke kita, kenapa kamu membuang muka?" tanya Dara. Gadis itu saja yang menggubris sapaan Axel tadi.

"Untuk apa? Aku tidak kenal mereka," jawab Dion jujur.

"Jangan begitu. Kalau mereka tidak menemukan kita, kita belum tentu akan menemukan kak Wendy dan kak Pietro," omel Dara.

Dion berdeham pelan, matanya kemudian bertemu dengan Wendy yang sedang berbincang dengan Pietro. Sepertinya gadis itu tidak menyadari keberadaannya.

"Itu mereka, ayo kesana," ajak Dion.

Dara mengangguk dan kembali melangkah. Namun tak sengaja tubuhnya menabrak seseorang cukup keras. Membuat semua makanan yang di bawa orang itu berserakan di atas lantai.

"Ma-maaf ..." lirih Dara dan ikut membantu orang itu.

"Dara?"

Dara terkesiap mendengar suaranya. Gadis itu menengadah, "LIM?!"

"DARA! AH, DION!" Laki-laki berkacamata itu merangkul Dara dan Dion sangat erat. Dara terlihat antusias sekali, sementara Dion hanya terdiam tak mengerti. Bagaimana bisa Lim tiba-tiba ada di sini? Ribuan pertanyaan langsung mengelilingi pikirannya.

"Bagaimana bisa kamu sampai di sini?" tanya Dion kala laki-laki itu melepas rangkulannya.

"Aku dan Rio menyusul kalian setelah kalian hilang dari area satu. Aku kira kalian sudah tidak ada, ternyata kita bertemu di sini!" heboh Lim. Namun, kemudian ia terkejut sambil menunjuk sebelah mata Dion yang berisi penutup mata bajak laut.

"Kenapa dengan matamu, Dion?" tanya Lim.

"Kecelakaan kecil," jawab Dion.

Lim mengangguk beberapa kali guna menanggapi ucapan Dion.

"Kenapa pergi dari area satu? Kalau aku jadi kamu aku bakal tetap di sana. Sudah aman, dapat makanan, di tambah tempat tidur yang enak," ungkap Dara. Gadis itu menyayangkan tindakan Lim. Tapi untungnya mereka dipertemukan di tempat ini.

"Sudah aku bilang, aku tidak percaya dengan orang tua itu. Aku memilih pergi dan mencari kalian setelah sehari kalian tidak terlihat. Dan asal kalian tau juga, orang tua itu menghilang setelah kalian pergi. Aku pikir kalian di apa-apakan oleh orang itu."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang