Planning

26 9 0
                                    

Tubuh Dion tersungkur ke atas ubin. Laki-laki itu meringis sambil memegangi tubuhnya. Rasanya badannya akan remuk kalau terus-terusan seperti ini. Melompat, terjatuh, terbanting, terjungkal lalu apa lagi yang akan di alaminya nanti? Bisa-bisa tubuhnya akan hancur berkeping-keping setelah ini.

Setelah di pikir-pikir, ia menjadi lebih atletis semenjak berlari-larian di sini. Stamina tubuhnya meningkat, bahkan ia lebih cekatan dari pada sebelumnya. Yang dulunya ia hanya anak rumahan biasa yang suka bermalas-malasan, kini harus tetap bertahan hidup. Apakah ia sudah menjadi MC sekarang? Padahal dulu itu hanya angan-angan belaka.

Lengan Beverly menerobos masuk ke dalam. Jari-jari tajamnya mencakar-cakar angin berusaha mencari siapapun yang ada di hadapannya. Dengan sekuat tenaga, mereka bertiga membanting pintu itu cukup kuat. Membuat lengan Beverly terputus dan menggelepar dengan darah hitam yang mengucur.

Suara lengkingan Beverly terdengar lantang dari luar. Dara langsung berlari mundur. Ia menatap lekat pintu itu. Samar-samar suara Beverly menghilang di telan keheningan.

"HII! BANGSAT!" Dev menendang potongan lengan Beverly jauh-jauh. Laki-laki itu berlari mendekati Dion. "Dia sudah mati, kan?"

Dion menggeleng tak pasti, "jangan terpedaya, dia sangat licik."

Dion akui Beverly cukup tangguh dan memiliki akal yang tinggi. Melihat bagaimana makhluk itu mampu mengubah realitas di sekitarnya, bahkan mampu menghipnotis mangsanya. Kalau saja ia tidak menaruh curiga padanya, pasti saat ini mereka sudah menjadi hidangan untuk para pengembara selanjutnya.

Matanya sempat menangkap arah aula. Ia melihat sebuah cahaya kuning kecil di meja resepsionis. Ia tidak tau itu apa, tapi saat ia melewatinya Beverly seperti berusaha menahannya. Ia berani bertaruh kalau itu ada hubungannya dengan kelemahan Beverly.

Dion merasakan sesuatu menabrak tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Dara yang sudah menutup mulutnya rapat-rapat. Gadis itu seperti ketakutan melihat sesuatu. Dion menatap arah yang di sorot Dara. Matanya membelalak terkejut, isi perutnya mulai bergejolak.

"A-apa ..."

Di atas meja penjamuan, teronggok tubuh mereka yang sudah di mutilasi. Dion melihat kepalanya yang menganga di atas mangkuk dan di genangi darah. Badannya tak berbalut pakaian sudah terbagi menjadi beberapa bagian. Tertata rapi di atas piring besar. Tubuh Dara tergeletak utuh di atas meja, perutnya sudah menganga lebar dengan beberapa organ yang menjuntai. Lebih parahnya adalah Dev, kelamin pria itu masuk ke dalam mulut, mata putihnya menyalak dengan tangan dan kaki sudah tidak ada. Belatung dan lalat mengerubungi, merayap di setiap inci tubuh mereka.

Suhu tubuh Dion langsung berkecamuk. Ia merasakan panas dan dingin secara bersamaan. Tubuhnya terguncang hebat, ini tidak benar, kan?

Kamu masih hidup!

"A-apa ini? Aku sudah mati?" tanya Dev histeris. "Aku sudah mati? Ti-tidak mungkin! Aku tidak mungkin mati! Aku masih hidup! AKU MASIH HIDUP!"

Dion mencengkeram pundak pria itu, mengguncangnya keras agar pria itu kembali sadar.

Kamu masih hidup!

"Sadar, Dev! Ini hanya ilusinya saja!" tekan Dion. Pria di depannya masih meracau tidak jelas. Kemudian netra mereka bertemu, tatapan Dev berubah nyalang dan menarik kerah baju Dion.

"ILUSI? APAKAH BENTUK DI DEPAN MATAMU ITU ILUSI?!" hardik Dev. Pria itu mendorong kepala Dion ke tumpukan daging di atas meja.

Kepala Dion membentur meja, ia menggeram kencang, "Dev, sadarlah! Dia hanya ingin membuat kita kacau!"

"Hahaha ... Kita sudah mati, Dion! Kita sudah mati!"

Argh! Dion menghempaskan lengan pria itu dan meninju rahang Dev. "SADAR, BODOH! KALAU TERUS SEPERTI INI DIA AKAN MUDAH MENANGKAP KITA!"

"BANGSAT! BERANINYA KAU!" Dev berbalik menyerang Dion. Pria itu lebih brutal dari sebelumnya. Melempar tinjunya secara membabi buta ke arah Dion.

Sial! Apakah pria ini gila? Ia tau siapapun pasti akan shock melihat tubuh yang mirip sepertinya teronggok kaku dalam keadaan yang sangat mengerikan. Tapi ketahuilah, ini hanyalah permainan ilusi dari Beverly. Semua di depannya tidaklah nyata.

Dion sudah tidak kuat lagi menahan pukulan Dev. Tenaga pria itu sangat besar ketimbang sebelumnya. Seluruh emosi yang meledak di kepala Dev seakan di keluarkan. Dion menangkap salah satu lengan Dev. Memutarnya, lalu menjatuhkan Pria itu di bawahnya. Tangannya mencekik leher pria itu.

"Sadarlah!" Dion menekan tangannya pada leher Dev, membuat pria itu mengejang kesakitan.

"Dia hanya mempermainkan kita. Di saat kita lengah, dia akan mudah menangkap kita. Kalau kamu ingin tetap hidup, maka pertahankan akal sehatmu!" tegas Dion.

Mata Dev yang awalnya bergetar kini kembali normal. Tubuhnya sudah tidak memberontak lagi. Dion melepaskan cekikannya, membuat pria itu terbatuk dalam posisi terlentang.

Dev menarik rambutnya frustasi. Ia menangis histeris. Kenapa ia harus terjebak di tempat seperti ini? Kenapa ia harus mengikuti arahan surat itu? Harusnya ia berdiam diri di rumah menonton acara televisi kesukaannya, ketimbang penasaran dengan maksud surat tanpa pengirim itu.

Keadaan sudah kacau, tidak semestinya mereka menambahnya. Bagaimana bisa mereka mengalahkan makhluk itu kalau dalam keadaan yang sangat hancur? Kalau mengandalkan Dion sendiri itu akan sangat sulit. Ia harus bisa mengembalikan kesadaran teman-temannya.

"Aku tau kelemahan Bev–"

"Apa?! Kamu sudah lihat, kan kalau makhluk itu tidak memiliki kelemahan sama sekali. Kita hanya bisa bersembunyi dan di kejar tanpa tujuan," cecar Dev. Pria itu sudah selesai menangis, kini terlentang di atas ubin.

Dion menghela pelan, "aku melihat sesuatu bercahaya di resepsionis. Aku yakin kalau itu ada hubungannya dengan kelemahan Beverly."

"Jangan bodoh! Bagaimana kamu bisa menganggap lampu biasa sebagai kelemahan sebuah monster?" tanya Dev sinis.

"Diamlah! Warnanya sangat berbeda dari lampu yang lain. Dari kejauhan aku melihat debu emas yang berputar di dalamnya. Saat aku lewat tadi, Beverly seperti takut dan menjaga benda itu. Kalau kita berhasil menghancurkan benda itu pasti bisa langsung melumpuhkannya," tekan Dion. Matanya melirik Dara dan Dev silih berganti.

Mereka berdua terdiam. Dara tidak melihat benda itu sebelumnya. Apa mungkin karena dirinya tidak begitu memperhatikan saat berlari tadi? Gadis itu sedari tadi hanya bisa membisu. Ketakutannya terus menyerang mentalnya. Membuatnya tak mampu mendengar jelas apapun yang ada di sebelahnya.

"Bagaimana cara melewatinya? Kamu tau kan kalau makhluk itu sangat cepat," celetuk Dev menyadarkan Dion.

Laki-laki itu menggigit bibir bawahnya. Kemudian kembali menatap Dev, "aku ada rencana. Pancinglah Beverly selama kalian berlari, biar aku yang ke aula untuk menghancurkan benda itu."

"Rencana yang bagus, tapi kalian tidak akan bisa menggapai tempat itu."

Dion tersentak, di atasnya telah berdiri Beverly yang menatap tajam ke arahnya. Dion sontak melemparkan sebuah kursi ke makhluk itu. Tubuh besarnya terdorong mundur beberapa langkah.

"SEKARANG!"

Dev menarik lengan Dara. Sementara Dion mulai kembali ke koridor aula. Di luar dugaan, Beverly tidak mengejar Dev, melainkan mengejar Dion. Sial! Ini tidak sesuai dengan yang ia rencanakan.

"APA KAMU PIKIR AKU BODOH? HAHAHA ... MARI KITA LIHAT SEJAUH MANA KAMU BISA BERTAHAN!"

DOMEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz