My Melody, Your Memory

287 22 0
                                    

Song: In the End (Violin)

Seorang pria berjalan pelan memasuki kawasan bangunan yang telah lama tak ia kunjungi. Jas panjang hitamnya berkibar lembut dihempas sang angin musim gugur. Ia memasukkan satu tangannya ke dalam saku, mencoba mencari sedikit kehangatan sembari berlindung dari dingin yang merambati ujung jemarinya, sedangkan satu tangannya yang lain memangku buket bunga yang dirangkai begitu indah.

Bangunan itu tampak tua, dengan cat yang sudah agak mengelupas dan lumut yang terlihat di sudut tembok luar. Meski begitu, masih ramai peminat yang datang dan beraktivitas disana.

Ia melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Beberapa remaja yang sepintas lewat menyapanya ramah hanya dibalasnya dengan senyuman tipis, lagipula ia juga tak terlalu mengenal mereka.

Memasuki bangunan, terdengar canda tawa dan alunan musik yang menggema merdu. Semuanya masih terlihat sama seperti sebelumnya, letak meja dan kursi, figura yang tergantung di dinding, bahkan pot tanaman yang berada di ujung ruangan tak bergeser sedikitpun. Dari posisinya, ia bisa melihat di setiap ruangan penuh dengan anak-anak dari berbagai usia yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Ruangan demi ruangan ia lewati, melihat bagaimana anak-anak itu berlatih dengan semangat, membuat siapapun yang melihatnya takkan mampu menahan senyum.

"Yoo Joonghyuk-ssi."

Ia menoleh hanya untuk bertabrakan dengan iris cerah seorang wanita muda yang berjalan ke arahnya.

"Kau datang." Ia tersenyum ramah. Rambut panjangnya bergoyang lembut tertiup angin yang masuk lewat jendela yang terbuka.

Yoo Joonghyuk menyerahkan bunga dalam genggamannya. Karangan Bunga Aster putih itu tampak sangat cantik, dengan satu surat kecil di dalamnya yang membuat senyuman sang wanita terukir sudut bibirnya.

"Kenapa Yoo Joonghyuk-ssi yang membawanya?" tanyanya geli.

"Han Sooyoung yang memaksaku. Ia ingin kau menerimanya lebih cepat, khawatir penerbangannya akan tertunda karena kendala cuaca buruk."

Wanita itu, Yoo Sangah, tertawa. "Baiklah, aku akan mengabarinya nanti kalau aku sudah menerima hadiahnya."

"Bagaimana dengan hal yang kuminta?"

Yoo Sangah mengerti. "Ruangannya tak dikunci. Pengasuh baru membersihkannya tadi pagi."

Yoo Joonghyuk mengangguk, lalu berlalu dari sana. Yoo Sangah mengulas senyum miris, menyayangkan ekpresi kesepian yang coba disembunyikan pria itu lewat tatapan dinginnya.

🎹🎼🎼🎼🎻

Ketika pintu tertutup rapat di belakangnya, mata Yoo Joonghyuk memandang apik seluruh ruangan kosong di hadapannya. Cahaya matahari yang merembes masuk lewat celah tirai cukup terang hingga menampakkan keseluruhan ruangan itu dengan jelas. Suasana sepi nan sunyi, dengan sebuah piano hitam dan tas biola di tengah-tengah ruangan.

Yoo Joonghyuk mendekat, kilas balik sebuah ingatan berputar dalam kepalanya. Ia masih bisa merasakan jejak kehadiran eksistensi yang telah lama hilang, masih terasa di sini.

Manusia pada dasarnya adalah pion sang takdir. Mereka lahir, tumbuh, berteman, mencinta, berpisah, hingga bertemu kembali dengan sang kematian, layaknya skenario film yang terus berputar entah dengan ending yang memuaskan atau tidak.

Setiap pertemuan, setiap perpisahan, rindu yang tertinggal, kata cinta yang terucap, menjadi memori dan kenangan yang akan begitu sulit untuk terlupakan. Meski ia mencoba menguburnya di tempat paling dasar dalam ingatannya, ada kalanya ingatan itu merangkak naik dan menyiksanya dalam fatamorgana yang menyakitkan.

ONE-SHOT ORVWhere stories live. Discover now