Bab 5

3.6K 340 7
                                    

Sasa memutar matanya.

"Saya sudah bawa makan siang sendiri, terima kasih buat tawarannya, Pak Raga." Sasa mengambil alat makannya, kemudian menyendok sayur dan lauk yang berada di kotak kecil-kecil. Jelas-jelas sama sekali enggan menatap pria di depannya. Ia cukup tahu diri. Sebab ia takut, debar di dadanya kembali kencang lantaran temu mata dengan mata.

"Pak Raga beneran enggak makan siang?" Sasa menancapkan ujung sendok ke nasi di kotak yang berukuran lebih besar dari kotak makanan lain. Mau tak mau, ia mendongak ke pria itu.

Barangkali merasa sedang diperhatikan, pria itu mengalihkan pandangan dari ponsel ke Sasa, lalu meletakkan gawainya ke atas meja. "Kayaknya enggak."

"Kenapa?"

Raga melirik ke kotak makan Sasa. Dan, seperti mampu menebak apa yang ada di pikiran Raga, Sasa beranjak mengambil sendok dan piring di laci, kemudian kembali duduk.

"Cuma mindahin lauk ke kotak nasi, belum saya makan sama sekali." Sasa memindah separuh porsi nasi dan lauk ke piring, kemudian menyorongnya ke hadapan pria yang kini menatapnya. "Pak Raga jangan bikin saya merasa bersalah gitu," kata Sasa.

Raga tergelak, kemudian memandang menu makan siang "rasa bersalah Sasa" di depannya. Tanpa ragu ia meraih sendok. "Thanks."

"Enak, nggak?" tanya Sasa

Raga mengangguk, lalu menelan lumatan di mulutnya. "Kalian jago masak, ya."

"Masakan saya enggak seenak masakan Kiki. Tapi setidaknya bisalah, dikit-dikit. Kalau Pak Raga suka makan apa?" Seketika, Sasa mengatupkan bibirnya ketika menyadari pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

"Saya suka bebek. Jadi cukup sering beli bebek goreng, kadang saya pesan ayam goreng, atau yang paling gampang didapat, ya, nasi padang. Kenapa? Mau masakin saya?" Raga membalik sendok di atas piringnya yang sudah bersih dari makanan. Pria itu menatap Sasa sambil tersenyum. Tak lama, ponselnya berdering. Satu panggilan masuk tertera di layar nyalanya.

"Terima kasih buat makan siangnya. Sebenarnya saya masih pingin ngobrol sama kamu, tapi ternyata saya mesti balik ke ruangan." Pria itu menekan tombol di tepi ponsel, lalu beranjak berdiri dengan membawa serta piring makannya.

"Biarin!" hardik Sasa. Namun, ketika menyadari Raga mengerutkan kening keheranan dengan ucapannya, perempuan itu lalu menambahkan, "Em, maksud saya, Pak Raga balik ke ruangan langsung saja. Piringnya biar saya yang cuci."

Biar enggak bikin saya makin deg-degan takut kepergok orang!

"Enggak merepotkan?" tanya Raga.

"Biar sekalian sama kotak makan saya."

Raga menangguk. "Saya memang enggak salah pilih teman. Thanks, Teresa," ucapnya.

Pria itu melenggang meninggalkan Sasa seorang diri di pantri. Punggungnya menjauh, lalu hilang dibalik pintu. Seketika Sasa mengela napas lega. "Teman. Cuma teman."

***

"Jadi gimana rencana lebaran tahun ini?" Kiki duduk di atas kasur milik Sasa, meletakkan sajadah dan melepas mukenanya. "Aku lamaran, loh, Sa. Jangan lupa," tambah Kiki.

"Iya. Inget, Ki. Nanti hari kedua lebaran aku berangkat ke Jakarta." Sasa menyengir sepintas, kemudian pandangannya kembali ke ponsel yang digenggamnya.

"Oke. Ngomong-ngomong, gimana Pak Raga?"

"Gimana apanya?"

"Kayaknya tambah deket aja sama Pak Raga." Kiki menaik-naikkan alisnya.

Sasa berdeham. "Biasa aja, tuh."

"Kapan hari makan siang bareng di pantri, masak biasa saja?"

Sasa memelotot ke arah Kiki. "Kata siapa?"

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang