Bab 43

2.7K 273 4
                                    

Selamat malam, teman-teman .... Satu bab lagi, yaa, buat hari ini.


Aroma dupa bercampur dengan bunga-bunga tabur, juga isak yang beradu dengan doa-doa yang dirapal seorang pastor yang mengenakan stola ungu di ujung liang, jadi hal yang terekam indra Raga. Pria itu membenarkan kaca mata hitam yang membingkai wajah, sedang satu tangan lainnya mencengkeram erat tangan kekasihnya.

"Tuhan, berilah dia istirahat kekal," ucap Pastor.

"Sinarilah dia dengan cahaya abadi." Serempak, keluarga mendiang dan pelayat menjawab, kecuali Raga yang sejak upacara pemakaman hanya diam. Meski sesekali mengajak bicara Sasa. Sekadar menanyakan apakah kekasihnya lelah atau kepanasan. Lalu kembali diam dan memerhatikan upacara pemakaman.

Sedikit demi sedikit, peti putih dengan karangan bunga di atasnya mulai tak tampak. Diiringi doa Rosario, petugas penguruk mulai memadatkan tanah, hingga kemudian gundukan baru terbentuk dengan salib putih bertuliskan nama mendiang tertancap di ujungnya. Aloysius Atma Wijaya. Eyang Raga.

Satu per satu keluarga yang serentak memakai baju putih menabur bunga di atas makan. Dimulai dari anak pertama kakeknya berserta keluarga, kemudian anak kedua, hingga tiba giliran Santi berserta suami dan anak-anaknya.

Sasa menyentuh lengan Raga. Pria itu menoleh, sesaat menyadari semua pasang mata yang ada di sana menatap ke mereka. Raga kemudian menggandeng Sasa berjalan mendekat ke makam, lalu bersama-sama menabur bunga di atas gundukan.

Upacara pemakaman berakhir ketika keluarga berfoto di depan makam. Begitu kamera tidak mengarah kepadanya, Raga menuntun Sasa kembali menjauh dari kerumunan keluarga. Namun, baru beberapa langkah, Raga menyadari kalau Santi mengikuti mereka.

"Ikut pulang ke rumah Rinjani, ya, Ga," ucap mamanya. Santi kemudian menoleh kepada Sasa. "Terima kasih banyak, ya, Sa. Sudah nemenin saya sejak eyangnya Raga kritis, sampai pemakaman hari ini."

"Sama-sama, Bu."

Raga melepas kacamata hitamnya, lalu menoleh ke mamanya. "Ke Rinjani?"

Santi menoleh ke kerumunan keluarganya yang masih berada di sekitar makam ayahnya. "Eyang kamu barusan dimakamkan. Jadi sewajarnya keluarga kumpul di rumah. Banyak yang harus dibicarakan."

Tentu Raga paham arah pembicaraan mamanya. Ia menoleh ke Sasa yang sejak tadi memilih memalingkan pandangan ke sekeliling. Disentuhnya pinggang Sasa. "Mau aku antar pulang dulu?"

Perempuan itu mengangguk, lalu mendekat kepada Santi. "Bu, saya pulang dulu, ya."

Santi menyambut uluran tangan dari Sasa, lalu memeluknya. "Terima kasih, ya, Nak. Hati-hati di jalan."

Tak lama kemudian, Raga membawa Sasa menuju ke tempat di mana ia memarkir mobil. Beberapa pasang mata menatapnya sembari berbicara satu sama lain. Rahang Raga mengetat, lalu dipalingkannya pandangan dari mereka-mereka.

"Hei." Sentuhan tangan Sasa membuatnya memalingkan pandangan dari kerumunan di depan. Perempuan itu tersenyum, seolah ingin meyakinkan sesuatu. "Kenapa?"

Raga meletakkan kacamata hitamnya di dashboard, lalu tersenyum. "Enggak kenapa-napa. Pulang sekarang?"

"Oke," ucap Sasa. Perempuan itu kemudian meraih sabuk di sisi kiri bangkunya, lalu mengaitkannya ke pengaitnya di sisi kanan bawah. "Kamu mau makan dulu?"

"Kamu lapar? Mau makan apa?"

Sasa tersenyum. "Bukan aku, tapi kamu yang belum makan sejak pagi."

"Aku enggak lapar, sih. Kita langsung ke kos kamu, ya?"

Approve (TAMAT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ