Bab 14

3K 295 3
                                    

Halo, ^^

Selamat membaca.


"Dingin, ya?" Emma memakaikan jaket tebal ke badan Bima, putranya.

"Bima sudah selesai makan?" tanya ibunya Timur, mendekat ke meja Bima.

"Sudah, Ma. Dia sudah ngantuk juga," jawab Emma.

"Ya, sudah. Balik ke kamar saja, Tim. Kasihan anakmu," ucap ibunya Timur, seraya menoleh ke anak laki-lakinya.

Tanpa berlama-lama, Timur menggendong Bima, lalu menghadap Emma yang masih diam di bangku. "Ayo, sekalian ke kamar."

"Kamu duluan saja. Habis ini aku nyusul."

Bima yang sudah memejam di pelukan Timur pun ibarat pecut yang membuat Timur tetap melanjutkan langkah dan tidak mendebat istrinya. Pria itu berjalan bersama ibu kandungnya menuju ke kamar yang sudah dipesannya di hotel selokasi dengan restoran, sebab mereka hendak menghadiri acara keluarga besok di tempat ini.

Ketika ia merasa semua keluarga Timur sudah tidak ada di area restoran, Emma berpindah tempat ke meja panjang dengan bar stool yang berjajar di tengah lounge. Perempuan itu mengangkat sedikit rok panjangnya, lalu tersenyum kepada bartender yang bertugas di balik meja. Usai menerima margarita pesanannya, Emma mengedarkan pandangan ke penjuru lounge.

Matanya menangkap sosok yang familier dengannya sedang duduk berdua dengan seorang perempuan di salah satu meja dekat kaca.

"Raga?" gumamnya, sambil terus mengamati perempuan yang bersama dengan Raga.

Meski ia bisa memandang wajah Raga dengan jelas dari tempat duduknya, Emma tidak bisa mengenali sosok perempuan berbaju hitam, dan berambut panjang sebahu yang duduk di depan pria itu.

Dadanya bergemuruh, menahan sesak kala senyuman terbit di wajah Raga. Cemburu menyembul, lantaran sekian lama ia tidak melihat ukiran indah itu di wajah Raga. Siapa perempuan itu?

Emma menenggak margarita di depannya hingga tandas, lalu menoleh ke barista. "Jameson."

Pedas getir dengan rasa manis memenuhi rongga mulutnya usai wiski yang disodorkan bartender ia teguk. Emma beranjak dari tempatnya duduk. Ia hampir saja terjatuh lantaran stool-nya cukup tinggi.

"Enggak apa-apa, Mas. Thanks," ucap Emma, ketika seorang pria hendak menolongnya.

Ia mengedipkan mata, mencoba mengembalikan kesadarannya lalu berjalan pelan menuju ke meja Raga. Namun, baru dua langkah, ia berhenti kala sosok yang duduk di depan pria yang ia cinta itu menoleh ke belakang. Mulutnya terbuka, ketika menyadari siapa sosok itu.

Emma buru-buru membalik badan. Tubuhnya menegang. Ia tidak percaya akan penglihatannya. Sekilas, ia kembali menoleh ke arah perempuan itu. Emma memegang tepian meja bar. Seperti dililit ular super besar, rasa sesak tiba-tiba memenuhi dada.

Ia mengenal sosok perempuan itu.

"Enggak mungkin. Enggak mungkin itu Sasa. Enggak mungkin Raga sama mantan tunangannya Timur."

Sekali lagi, Emma menoleh lagi ke belakang. Kali ini pandangannya dan Raga berserobok. Ia berusaha menelan ludah, kemudian mengambil tas yang diletakkannya di stool. Ketika akan pergi dari lounge, ia melirik ke arah Raga. Pria itu tidak memalingkan pandangan darinya sepanjang ia berjalan menuju pintu keluar.

***

Jakarta, delapan tahun yang lalu.

Telunjuknya menyelusuri tulang punggung pria yang berbaring membelakanginya. Sedikit basah, karena keringat yang belum mengering karena aktivitas mereka yang baru usai.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang