Bab 45

3.2K 279 4
                                    

"Bir?" Rino mengangkat sebotol kecil bir dari dalam kulkasnya.

Raga menggeleng. "Kopi."

Rino terkekeh mendengar jawaban Raga. Pria itu menyesap bir dari botolnya seraya berjalan pelan. Saat melewati Raga, ia berceloteh, "Wah, efeknya Sasa ngeri banget. Terbukti budak cinta tenan koncoku, rek."

"Aku wingi mari ngebir (habis ngebir kemarin), cok."

"Halah. Biasanya juga ngebir kayak minum air putih, Ga," sanggah Rino, sambil terus berjalan keluar ruangan. Terdengar Rino meminta tolong kepada asisten rumah tangganya untuk membuatkan Raga kopi, lalu kembali masuk ke dalam ruang kerja, duduk di depan sahabatnya itu. "Kapan ke Malang buat ngasih keputusan?"

"Minggu depan."

Rino mengangguk. "Aku kemarin ketemu Om Will."

Raga meletakkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya. "Terus?"

"Om Will cerita soal koen." Rino meletakkan bir yang kini tersisa separuh ke atas meja lalu menyilangkan kaki.

"Aku?"

"Eyangmu sempet ketemu Om Will sebelum beliau sakit. Mereka enggak sengaja ketemu di Surabaya pas makan siang bareng sama bosnya aplikator. Bos aplikator ini teman deketnya eyangmu ternyata." Rino tersenyum lebar. "Kemarin Om Will cerita kalau dia denger soal pabrik eyangmu yang di Pandaan. Dia bilang, dia berat misal koen mandek dari IMAG. Cari factory manager buat IMAG itu super angel (susah). Apalagi Om Will rewel banget orangnya. Tapi balik lagi, semua keputusan ada di tanganmu."

Raga terdiam. Ia kembali menegakkan badan. Tangannya menggapai kotak rokok, lalu diambilnya sebatang. "Sebenarnya aku berhak menolak, kok."

"Menolak?" Rino mengurut dahi, lalu menatap Raga lekat-lekat. "Ya, terserah, sih, Ga. Aku paham alasanmu menolak warisan dari Pak Atma. Tapi ...."

Raga mengembuskan asap putih ke udara, lalu memandang Rino. "Tapi opo?"

"Pikir baik-baik. Ojok kesusu (jangan terburu-buru) memutuskan menolak. Aku paham koen dendam kesumat sama eyang dan keluarganya mamamu. Tapi kondisinya sekarang beda. Pak Atma ninggalin perusahaan dengan kondisi yang baik. Katamu, RUPS menyetujui koen menempati posisi eyangmu. Sesuai sama wasiat beliau."

Mulanya Raga kira, kematian akan menguburkan juga perkara yang merongrong dirinya sejak beberapa tahun kemarin. Namun, nyatanya tidak begitu. Hitungan hari setelah wafatnya eyangnya, notaris membacakan surat wasiat kepada keluarga. Namanya ada di sana, sebagai pewaris salah satu perusahaan milik almarhum. Persis seperti yang sudah didengungkan selama ini.

"Pertama, menurutku eyangmu enggak mungkin tanpa alasan bikin wasiat kayak gitu. Eyangmu memang punya perusahaan yang lebih gede tapi koen tahu sendiri perusahaan itu jadi rebutan pakde dan ommu. Sedangkan ini? Satu-satunya yang diwariskan langsung ke cucu, bukan ke anak-anaknya. Perusahaan terakhir yang dipegang eyangmu sendiri sampai dia meninggal. Ini bukan cuma kepemilikan, loh, tapi pengelolaan juga. Koen enggak perlu adu otot kayak saudara-saudaranya mamamu buat dapat saham dan jabatan. Aku yakin, Pak Atma sudah mikir matang-matang sejak lama soal suksesi tapi beliau tunggu koen bersedia dilimpahi."

Rino berkedip-kedip lalu kedua bibirnya terangkat. "Kedua, alasan bucin, sih. Sasa, kan, ndek Malang, Bro. Kalau dari ceritamu, dia bakal berat resign dari STG, apalagi dia digandoli Mas Dinar."

Raga menjentikkan abu rokok ke asbak, lalu menggeleng geli. "Terus menurutmu Om Will enggak gandoli aku?"

"Oh, jelas. Om Will sayang pol ambek koen. Tapi masalahnya sekarang, tawaran yang datang ke koen itu bukan sekadar karyawan yang digaji pemilik perusahaan. Koen pemimpin dan pemilik perusahaan. Ini aku ngomong sebagai konco, loh. Bukan sebagai keponakannya bosmu."

Approve (TAMAT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz