Bab 36

2.7K 244 8
                                    

Tiga bulan selepas perpisahannya dengan Raga, rasanya tidak pernah Sasa lekas-lekas pulang. Mencetak PO yang masuk lepas jam kerja, mengecek konfirmasi order, bahkan sekadar mengurutkan nomor surat-surat penting, ia lakukan selepas jam kerja.

Pokoknya, ia harus sibuk. Otaknya harus bekerja. Ia tidak akan membiarkannya kosong sebab enggan nantinya diisi kenangan-kenangan yang mestinya ia lupakan. Sungguh, Sasa sudah bekerja keras demi melupakan lara hatinya. Meski ia tertatih. Meski memang tidak mudah. Sebab segala tentang Raga masih saja terngiang di benaknya. Kebersamaan mereka, berkelindan dengan permasalahan yang begitu rumit. Sekeras apa pun usahanya, nyatanya sakit hatinya tidak lekas pulih.

Tangannya mencengkeram odner yang baru saja ia rapikan di bufet belakang. Sasa menatap kosong ke arah jajaran map besar warna hitam.

"Belum pulang?"

Sasa terhenyak, lalu berbalik ke arah sumber suara. "Eh, Pak Jody."

Manajer baru itu tersenyum, lalu berjalan pelan mendekat ke Sasa. "Lagi lembur?"

"Enggak, Pak. Cuma agak bosan di kos, jadi saya beres-beres meja dulu sebelum pulang."

"Kos di mana, Sa?" tanya Jody, sembari mengetuk-ketukkan kunci kendaraan di atas meja.

"Dekat Suhat, Pak," jawab Sasa, sembari kembali ke bangkunya. "Pak Jody belum pulang?"

"Baru mau pulang. Sudah ada rencana pulang beberapa menit ke depan?"

Sasa menoleh ke penanda waktu di tembok dekat pintu, lalu tersenyum kepada pria itu. "Iya, Pak."

"Kebetulan kita searah. Kalau mau bareng, aku tunggu di depan?"

Aku tunggu di depan ....

Kalimat itu serta merta membawa lagi sosok yang susah payah ia enyahkan dari pikiran. Raga seperti berdiri di pintu ruangannya, menyakukan kedua tangannya di kantong celana, menatapnya dengan senyuman tipis seperti sebelum-sebelumnya.

Sontak, Sasa memejamkan mata sejenak, meyakinkan diri apakah ini nyata atau hanya khayalannya semata. Dua detik, ia kembali membuka mata. Sosok itu bukan Raga, melainkan Jody yang menelengkan kepala sembari tersenyum. Dan, tepat saat itu pula, otaknya seketika mencari-cari alasan untuk menolak ajakan Jody.

"Terima kasih buat tawarannya, Pak Jody. Tapi kebetulan saya ada janji dengan teman di kafe dekat sini," ucap Sasa, sembari menyunggingkan senyum sopan.

"Ah, oke. Kalau begitu, saya duluan."

Sasa mengangguk. "Monggo, Pak."

Usai Jody tidak lagi terlihat mata, Sasa menelungkupkan muka ke tepian meja. Nyatanya patah hatinya tidak lekas-lekas pulih. Bahkan dari sekadar ucapan orang lain yang kebetulan serupa dengan yang pernah ia dengar sebelumnya, Sasa kian menyadari satu hal. Nyatanya, sesibuk apa pun otaknya bekerja, segala tentang Raga tidak lagi bisa tersisih begitu saja.

Perempuan itu kembali menegakkan badan, kembali memberesi meja kerja, lalu bergegas meninggalkan ruangannya. Dalam langkah-langkahnya, ia masih mencoba merancang rencana. Apa yang mesti ia lakukan sepulang bekerja, ke mana ia akan pergi di akhir pekan nanti, pokoknya apa saja selain hanya diam dan menangis seperti kemarin-kemarin. Apa saja, sebab satu menit tanpa memikirkan Raga adalah waktu yang berharga.

***

Rino dan Raga kompak menoleh ke Vera yang tidak sengaja menutup pintu terlalu keras. Perempuan itu meringis, lalu berjalan cepat ke dua pria yang sibuk mengamati line chart saham yang entah apa dari komputer milik Rino.

"Sorry," ucap Vera, mendekat ke suaminya, tepat ketika Raga kembali duduk ke sofa. "Ini udah di luar jam bursa, jangan mikir cuan terus."

Rino menghela napas, kemudian menoleh ke Vera yang menyandarkan bokongnya ke tepi meja. "Kenapa?"

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang