VIRTUAL RASA

48 1 0
                                    

Aku sering minta sama Tuhan agar jangan hatiku dipertemukan dengan hati laki-laki manapun. Jangan, kataku. Aku tidak membayangkan Tuhan bertanya kenapa, karena aku tau tanpa aku bilang pun Tuhan sudah tau luar dalam hati dan kerikil-kerikil kecil yang mengisinya.

Mungkin yang kulakukan ini sudah berkali-kali menyulut emosi takdir.

Suatu kali aku berdialog dengan kejujuranku. Katanya begini, "kamu itu mudah sekali jatuh dalam nyaman yang dibuat oleh tangan orang-orang asing."

"memang," jawabku tak ragu sedikit pun.

Kejujuranku terkekeh, "kamu mudah percaya. Mau itu tangan-tangan baik, jahat, kamu persilahkan mereka meraba hatimu sesukanya."

Aku tersenyum lagi, "memang."

"bukannya kamu saring, sekarang malah kamu membaur ikutan menjadi orang asing bagi dirimu sendiri."

Yang ini tidak kujawab. Aku hanya mengedikkan bahu, tak acuh.

Kejujuranku itu berkacak pinggang, "kenapa deh? Mbok ya jangan begini."

"tanya saja Tuhan, yang lebih tau kenapa. Jawabanku berbelit-belit, hatiku juga, kamu juga."

"tadi kamu merasa kan?"

"apanya?"

"ya itu, nyaman."

"kapan?"

"jangan bohong kalau lagi bicara denganku soal kapan, di mana, dan bagaimana."

"nyaman sebentar boleh kan? Nyaman itu gak perlu aku kasih makan terus sampai tumbuh besar kan?"

"aneh kamu."

"memang."

Aku tau kejujuranku itu sudah sangat bete dengar jawabanku yang begitu.

"hey, anggap saja aku sudah kenyang dengan manis-manis yang dulu. Anggap saja aku sudah membekali hati dengan hangat-hangat yang dulu. Gak perlu ditambah lagi. Kalau aku butuh, persediaan itu masih.."

"bohong. Senang banget ya kamu bohong? Ruang persediaanmu itu sudah bocor dan ambruk atapnya sejak lama. Aku tau kamu butuh mengisi ruang itu lagi. Aku tau kamu pura-pura."

Aku ingin menjawab "memang" tapi cari masalah itu namanya. Panjang nanti urusannya.

Kepalaku masih sedikit menapaki sisa-sisa ingatan ketika berada dalam bus tadi.

Di depan kaca bus yang berembun sehabis hujan, aku duduk di salah satu bangku bus, menghadap langsung cahaya matahari pagi yang cantik ke-emasan. Cantik sekali. Aku terlalu senang dan menatap terus cahaya itu selagi bus masih menunggu penumpang di pool, dan lama-lama mulai merasakan ada tatapan lurus ke arahku melalui ekor mataku. Ah, paling lagi lihat kaca jendela di belakangku juga sepertiku.

Tapi hatiku gerah, dan akhirnya memilih mengindahkan tatapan itu untuk memastikan apakah aku terlalu percaya diri atau..

Hanya satu detik, aku yakin itu. Tatapanku melewatinya untuk bertemu mata dengannya satu detik. Tidak lebih. Setelah tatapanku berakhir di tempat lain pun kurasakan tatapan itu masih betah bersandar padaku.

Entah itu tatapan apa, yang pastinya telingaku yang tadinya menahan dingin di balik sumpalan earphone kanan-kiri, menerima entah hangat apa. Dan di dalam dadaku, yang sedang menyetujui bahwa ac dalam bus pagi itu cukup dingin, teralihkan oleh hangat itu. Cuma sebentar, karena setelahnya aku kembali fokus pada cahaya matahari tadi, amat terfokus malah karena semakin cantik semburatnya mengenai kaca bus yang berembun.

Tidak tahan, aku mengeluarkan ponsel dari tas ransel yang kupangku, membuka fitur kamera pada ponsel. Lalu,

Flash!

Kilatan lampu kamera menggoyahkan konsentrasiku. Malu sampai mau mampus, padahal itu sudah sering jadi bagian dari lupaku. Aku sering lupa mengecek flash mode pada kamera belakang itu menyala atau tidak, dan seringkali menyala tapi aku tidak sadar.

Perhatian orang-orang? Oh tentu yang tadinya hanya sepasang mata yang memandangku, setelah itu bertambah entah berapa pasang lagi.

Sepasang mata yang sempat kulupa tadi, kurasakan pada saat aku sedang mengutuk diri sendiri dalam rasa malu, masih bersandar padaku.

Tak lama aku memberikan tempat dudukku untuk seorang bapak tua yang baru naik, dan aku pun mengambil tempat bersandar pada kaca pembatas ruang kursi dengan pintu bus. Dan tak lama setelahnya aku turun di halte yang kutuju.

Tidak salah kan sekarang kalau aku menganggap dialogku dengan kejujuranku tadi tidak perlu kujadikan hidangan panjang dalam kepala? Itu bukan hangat yang memberiku jaminan untuk memperpanjangnya.

Aku masih bisa berlarian di bumi ini sendirian kok. Betul memang hangat-hangat yang selama ini kusimpan rapi itu semakin menipis untuk kurasa. Betul memang aku butuh merasakan hangat yang lebih pekat.

Aku sekarang sedang meracik hangat-hangat serupa dalam benakku, berusaha untuk tidak bertemu dengan hangat yang baru di realitas yang tak bisa lagi kupercaya ini. 

Cukup melalui virtual rasa.

BERTAMU DI RUANG PILUWhere stories live. Discover now