HILANG

47 0 0
                                    

Sudah tujuh jam aku tertidur. Tujuh jam kepalaku nyaman bersentuhan dengan aspal. Jemariku masih bertaut erat dengan masa depan, yang berbaring nyaman di sampingku, tidak lagi terengah-engah seperti sebelumnya saat berkali-kali mengejarku yang menjauhinya.

Ia sempat menawarkan tempat bagi kepalaku di atas pangkuannya, dan aku menolak. Sang masa depan akhirnya memilih untuk menyanyikan lagu tidur, dan aku segera kalah dari berlari.

Sudah pukul 3 dini hari. Tidak ada lagi kemacetan. Jalanan yang lengang membiarkan aku dan masa depan berbaring tenang di sana.

Perlahan aku melepasnya dari jemariku, tersenyum membalas pandangan nelangsanya.

"Tenang, aku sudah lelah berlari."

Pandangannya tidak lantas berubah tenang. Ia menyadari nyala api yang baru saja tiba, dan tanpa izin bermain peran dalam mataku.

Amarah itu, perlahan, dan terus membakarku.

Aku tetap tak bergeming, hanya pasrah membiarkan tubuhku terus melupakan kehangatan yang dulu.

Sang masa depan tidak mampu menembus jarak sedekat mungkin, tidak mampu menyelamatkanku yang sedang terbakar habis.

Sampai ketika api sudah puas melahapku, sang masa depan merangkak mendekatiku perlahan, berusaha merakitku kembali.

Dengan sisa nyawa yang kupunya, aku menepuk-nepuk tenang tangannya.

"Tenang, aku sudah lelah."

Untuk sesaat mataku terpejam, berhenti menyusuri wajahnya yang semakin pucat, berhenti bertatapan dengannya.

Dan tubuhku pun terombang-ambing di dalam lautan. Panas itu telah pergi, berganti dingin yang datang menggigit. Masa depan, kulihat jauh di atas permukaan sana, mencoba mengulurkan tangannya yang tak sampai.

Aku, lagi-lagi, tetap tak bergeming, hanya membiarkan lautan yang buas menelanku.

Aku tidak lagi berlari.

Biarlah air menarik-narikku semaunya. Entah ia akan mengembalikanku lagi ke permukaan, atau merantaiku di dasar.

Persetan, aku semakin hilang.

BERTAMU DI RUANG PILUWhere stories live. Discover now