III. Peduli

13 13 9
                                    

"Crip crip,"

Suara burung di langit jingga sore ini menemani gue selama berjalan diatas trotoar komplek dengan sesekali melantunkan siulannya yang merdu.

Kejadian tadi benar-benar tidak dapat terlupakan, momen disaat gue terpojokkan dan tidak bisa berkata seperti biasa. Untungnya tadi Dendi memanggil Naufal untuk menunjukkan bahwa guru selaku pengampu mata pelajaran Bahasa Inggris kami, Pak Heri memasuki kelas.

Gue ngehela nafas, memilih untuk menikmati hembusan angin sore ini dengan aroma udara khas tanah yang menguar karena terkena air hujan siang tadi. Untungnya langit tidak menangis hingga matahari terbenam, membuat gue tidak perlu bingung mencari cara untuk pulang ke rumah.

Hentakan dari dua pasang kaki menemani kesepian jalan ini sejak tadi, tepatnya setelah kami -gue dan Juna- turun dari brt.

"Jun,"

"Lo kalau dikatain gitu, jangan mau. Lawan."

"Kalau lo gak kuat, lo gak usah khawatir, ada gue."

"Ada orang-orang juga yang mau bersedia ngebantu lo buat-"

"Siapa?"

"Apa bener orang bakal bantu? Terus kenapa tadi saat lo diserang Naufal mereka semua diem?"

Gue ngehentiin langkah gue. Kata-kata Juna barusan bikin gue mikir untuk sepersekian detik. Dan baru kali ini, gue gak tahu jawabannya.

Disaat gue mikir jawaban yang tepat, Juna tiba-tiba nyalip gue, membuat lama-kelamaan punggungnya menjauh dari pandangan hingga akhirnya yang tersisa hanyalah jalanan kosong dengan sisa rintik hujan yang turun dari daun dan ranting.

-

Gue ngerebahin diri gue di ranjang lalu menghela nafas tepat setelah suara bugh muncul dari suara lapuk ranjang yang gue tindihin.

Gue natap ke langit-langit atap yang disana terdapat sebaran bintang glow in the dark yang gue hias secara acak.

Yang Juna katakan tadi memang benar adanya. Kepedulian orang-orang di dunia saat ini berkurang, menyisakan hanya beberapa orang saja yang masih bisa menunjukkan kepeduliannya terhadap sesama.

Gue kembali ngehela nafas, lalu beralih mendudukkan diri diujung ranjang dan melangkahkan kaki menuju dapur untuk melihat Ibu yang sedang memasak untuk makan malam.

"Masak apa mah?"

"Masak ayam goreng sama sambel. Sana bantuin ngulek sambelnya, udah ibu siapin," jawab Ibu sambil tak melepaskan pandangannya dari ayam goreng yang sedang direndam didalam minyak goreng panas yang sesekali meletupkan percikan kecilnya.

"Iya." Setelah itu gue beralih ke arah cobek yang udah ibu siapin untuk gue ulek, lalu menguleknya dengan kuat.

"Mah."

"Apa?"

"Kenapa ya sekarang orang-orang banyak yang gak mau peduli sama apa yang mereka lihat?"

Ibu nengok ke gue, lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke ayam goreng, menjaganya agar ayam itu tidak gosong ataupun overcook.

"Memang kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu?"

"Yaa gak apa-apa, cuman penasaran."

Gue tahu apa yang gue tanyain ini akan sangat aneh bagi ibu, tapi gue tetep kekeuh ingin tahu jawabannya.

"Orang itu beda-beda Dek, ada yang benar-benar peduli, dan ada juga yang tidak sama sekali."

Gue fokus.

"Dan cara orang-orang peduli pun beda-beda."

"Ada orang yang sebenarnya peduli tapi takut, takut kalau-kalau ia disebut ikut campur dalam urusan orang lain. Makanya mereka lebih memilih untuk diam dibanding mendapat respon seperti itu."

"Bisa juga orang itu malu untuk memperlihatkannya, padahal sebenarnya rasa peduli itu ada didalam dirinya."

"Ada juga orang yang peduli, dan akhirnya ikut berperan dalam hidup orang itu, semua itu tergantung masing-masing orangnya."

Gue ngangguk-ngangguk setuju, memang yang Ibu katakan itu benar adanya. Dan gue juga gak bisa ngubah sifat orang-orang itu.

"Kalau Ibu gimana?"

"Kalau Ibu, Ibu mau kamu jadi orang yang peduli terhadap sekitar, peduli terhadap orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan kamu, walau itu kecil, tapi hal kecil itu bisa saja berarti besar bagi orang lain. Gak usah mikirin hal lain, langsung bantu selagi kamu bisa, rentangkan tangan kamu setiap orang itu butuh, Ibu mau kamu jadi orang yang berhati baik."

Gue gak nyangka pertanyaan gue bakal dijawab kayak gini sama Ibu, dan setelah Ibu ngomong gitu, hati gue luluh, keinginan gue untuk menjadi orang yang lebih baik lagi semakin tinggi. Dan terimakasih untuk Ibu, akhirnya gue tahu jawaban apa yang akan gue sampaikan ke Juna.

"Udah belum sambelnya? Sini Ibu kasih minyak terus ajak ayah buat makan bareng sana."

Gue kembali sadar setelah ibu ngajak bicara, lalu dengan cepat-cepat menyelesaikan ulekan gue dan gue taruh di atas meja dapur.

"Yah, ayo makan."

Ayah tampak sedikit kaget saat gue buka pintu kamar tiba-tiba, lalu sesaat kemudian ayah tersenyum dan meletakkan handphone-nya di atas meja, lalu ngehampirin sambil ngerangkul pundak gue pelan.

"Ayo!"

"Ayo!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Juna and His WordsWhere stories live. Discover now