VIII. Rasa Sakit yang Kutahu

1 0 0
                                    

"Habis darimana?"

Tepat saat Dendi memasuki ambang pintu, pertanyaan tersebut terlontarkan begitu saja. Dendi yang tadinya terlihat santai itu pun langsung berdiri tegang ngeri setelah mendengar suara dingin berat yang sedikit serak tersebut.

"Kalau ayah tanya langsung dijawab, Den!"

'Bugh!

Mata Dendi melebar, mulai mengeluarkan air yang menggenang dipelupuk matanya. Tidak, suara itu bukan berasal dari tubuhnya, lebih tepatnya belum. Suara tersebut dihasilkan dari aksi ayahnya yang memukul dinding ruang tamu dengan sangat keras.

"Dari rumah temen, kerja kelompok." lirih Dendi kemudian. Untuk menatapnya pun Ia tak kuasa.

"Ini jam berapa? Kerja kelompok sampai jam 11 malam itu kerja kelompok apa?!" suara pria yang berumur 40 an itu meninggi, membuat Dendi semakin ngeri untuk menjawab pertanyaannya.

"Rumahnya jauh," jawab Dendi lagi, sambil berharap pada Tuhan agar hari ini Ia diselamatkan dari amukan ayahnya tersebut.

'Bugh!

Kali ini, suara tersebut bukan berasal dari pukulan ayahnya ke dinding ruang tamu, melainkan dari tubuh Dendi yang sudah dipastikan sekarang pasti mengeluarkan semburat merah didalam kaos yang sekarang Ia pakai. Bahkan mungkin cairan merah bisa keluar dari aksi ayahnya tersebut.

Dendi tak bisa berteriak, Ia hanya dapat menahan rasa sakit tersebut dengan menitikkan setetes air mata yang sudah sangat keras Ia tahan agar tidak keluar. Ia tidak ingin terlihat lemah didepan pria yang sudah tidak ingin lagi Ia sebut dengan sebutan "Ayah".

"Berani-beraninya kamu bohong sama Ayah, ya?! -"

"Deden!!" suara pekikan seorang wanita paruh baya tiba-tiba terdengar, lalu tak lama wanita tersebut langsung memeluk tubuh Dendi, membawanya kedalam dekapan hangat nan lembut tersebut. Pelukan yang Dendi suka.

"Sssstt udah udah Deden gapapa Deden gapapa Deden gapapa, cucu kesayangan Eyang gapapa, ya? Cucu Eyang pinter," ucap Eyang pelan berusaha menenangkan cucunya yang sekarang sedang bergetar takut.

Ayah Dendi mendengus kesal, Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika Eyang sudah datang seperti ini. Lalu dengan tajam, Eyang memicingkan mata ke arah Ayah Deden.

"Udah ayo ke kamar yuk,"

Dendi mengangguk kecil, Ia masih syok dengan apa yang sudah ayahnya lakukan barusan. Ia tidak menyangka bahwa pukulan tersebut akan dilayangkannya saat tahu bahwa Eyang ada dirumah.

Eyang mengajak Dendi untuk duduk di ujung kasur setelah mereka sampai dikamar Eyang. Sedari tadi, Eyang tak bisa menahan tangisnya. Ia merasa menyesal karena tidak bangun lebih awal saat ayah Dendi mulai mengamuk.

"Coba sini lihat punggung kamu, Den,"

Eyang mulai menaikkan kaos Dendi dan kembali lagi, kondisi yang dialami Dendi saat ini sangat mengiris hatinya. Dibawah kaos yang bersih dan rapi tersebut terdapat banyak luka garis yang dihasilkan dari perbuatan ayahnya selama ini. Dan sekarang garis besar baru muncul disana, dengan warna merah segar yang menandakan bahwa garis tersebut baru saja dibuat.

Hati Eyang perih saat melihatnya, rasanya Ia sudah gagal menjadi pelindung Dendi, cucu yang Ia besarkan dengan penuh cinta tersebut.

Dengan cepat Eyang langsung menyiapkan kompres dingin dan kembali duduk di samping Dendi yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.

Dengan sekuat tenaga Dendi menahan rasa sakit dengan menggigit bibirnya saat kompres tersebut mengenai luka memar yang baru saja Ia dapatkan. Luka cambukan, lebih tepatnya.

Berulang kali Eyang terus mengelus lengan Dendi, berusaha menenangkan cucunya yang pasti sedang sangat kesakitan.

"Eyang tidur lagi aja," kata Dendi setelah rasa sakit yang dirasakannya berkurang.

"Nggak, Eyang nunggu kamu tidur aja."

"Dendi bakal tidur, Yang, Dendi gak bisa tidur kalau Eyang gak tidur,"

"Selama ini kamu bilang gitu, tapi sebenarnya kamu bohong, kan? Kamu selalu gak tidur, Eyang mohon, Eyang mau gak mau kamu seperti ini terus, Den."

Eyang tahu dengan berkata seperti itu pun rasa sakit yang dirasakan oleh Dendi tidak akan mereda. Dibanding luka memarnya, pasti hatinya lebih sakit.

Dendi tak bisa menjawab lagi, lalu dengan perlahan Ia menarik tangan Eyang yang sedang mengompres lukanya, lalu mengenakan kaosnya lagi dan berbaring di kasur. Matanya terpejam, namun kesadarannya masih penuh.

Eyang yang melihat itu pun mematikan lampu kamarnya dan membereskan kompres yang baru saja dipakai, lalu mengenakan selimut kepada Dendi, dan Ia pun ikut berbaring disebelahnya.

Dendi berbalik, "Eyang gak kena selimutnya,"

"Gapapa Eyang gak kedinginan."

Dendi mendudukkan dirinya, lalu membenarkan selimut yang semula hanya menutupi tubuhnya menjadi menutupi tubuh Eyang sekaligus dirinya, lalu Ia kembali berbaring dan menghadap dinding kamar.

Eyang tersenyum, dengan tangan yang bergetar Ia mengusap air matanya lalu beralih menyisir rambut Dendi untuk membuat cucunya tenang malam ini.

"Eyang minta maaf, harusnya kamu gak perlu ngerasain rasa sakit ini." bisik Eyang yang hanya dapat didengar olehnya, dengan tangan yang masih setia berada dirambut cucu kesayangannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Juna and His WordsWhere stories live. Discover now