V. Kebenaran

13 10 12
                                    

"Saya mau kalian buat kelompok yang berisikan 3 orang, bebas."

Baru aja gue nikmatin pemandangan depan sekolah dari lantai dua, tiba-tiba aja Pak Oyen bicara yang bikin gue mau tidak mau harus langsung menujukan perhatian ke arahnya.

"Del, sama gue ya?" Dera yang sudah bersemangat pagi ini langsung membuka mulutnya, senyuman cerianya langsung timbul setelah mendengar kata 'kelompok'.

"Iya pasti lah Der, sama Juna juga, gapapa?" tanya gue to the point. Juna gak berangkat hari ini, jadi besar kemungkinan kalau nanti tidak akan ada yang memilih Juna untuk menjadi satu kelompok. Maka dari itu gue harus selametin Juna terlebih dulu.

"Iya langsung aja bilang ke Pak Oyen."

Tanpa pikir panjang lagi gue ngacungin tangan gue, berusaha mendapatkan atensi Sang Guru yang masih sedikit sibuk dengan buku yang sedang dibacanya.

Setelah Pak Oyen melihat atensi gue dan ngangguk, gue langsung nyebutin siapa aja anggota yang akan jadi kelompok gue nanti.

"Adel, Juna, -"

"Dendi, Pak."

Gue melotot, "Eh, nggak Pak! Dendi nggak masuk kelompok saya!" Kata gue langsung setelah mendengar Dendi yang nyeruin namanya sendiri secara mendadak.

Loh, Pak Oyen kok diam?

"Adel, Juna, dan Dendi saja. Kamu udah pintar, jadi saya buatkan kamu kelompok yang seimbang."

"Loh Pak, katanya bebas??"

"Saya memang menyuruh bebas, tapi tolong kasihanilah teman-teman kamu yang lain kalau kalian satu kelompok pintar semua."

"Dendi kan juga pintar Pak?" tanya Dera lagi yang masih tidak terima atas keputusan Pak Oyen.

"Hush Der," bisik gue sambil nyenggol lengan Dera, menunjukkan gestur agar ia tidak mendebat Pak Oyen. Takut-takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dera nampak kesal kemudian, ia dengan keras mendudukkan dirinya kembali ke bangku.

Pak Oyen memang termasuk guru yang easy going dalam mengajar, namun sekalinya dilawan, beuh...

"Ya sudah begini saja, kelompok biar saya yang tentukan, tidak jadi bebas."

Tuh, kan.

Tidak ada jawaban lagi setelah itu, namun seluruh mata kelas kami tertuju pada gadis yang duduk disebelah gue, memicingkan matanya untuk sekedar memberi peringatan. Gue nengok sekilas, Dendi yang menjadi penyebab sebenarnya ini terjadi malah terlihat tersenyum sambil dengan percaya dirinya mengangkat salah satu kakinya ke atas kakinya yang lain.

"Kelompoknya sudah saya bagikan digrup. Silahkan kalian buka dan mulai memikirkan projek yang akan kalian buat untuk hari Senin depan."

"Ya, Pak!" kata kami bersamaan.

Setidaknya gue tetap sama Juna. Walaupun akhirnya Dera tergantikan oleh Dendi karena keusilan cucu Eyang Ratna itu.

-

Berbeda dengan kemarin, hari ini SMA Negeri Delima terus disinari Sang Matahari hingga jam pulang tiba.

Sudah banyak suara gesekan trotoar dengan ban motor yang melaju tak sabar, ditambah suara klakson melengking yang tak jarang dibunyikan oleh mereka yang kesabarannya setipis tisu.

Gue barusan keluar dari gerbang sekolah dengan membawa tas kecil yang gue peluk didepan dada. Tas punggung gue udah kepenuhan karena tertambah baju olahraga yang tidak kecil ukurannya.

"Awas!"

Jantung gue serasa berhenti untuk sepersekian detik setelah seseorang teriak dan narik tubuh gue ke belakang.

Gue ngalamun, sampai gak sadar kalau gue jalan tanpa lihat kanan kiri.

"Awas woi!"

Gue langsung mundur, mempersilahkan motor yang baru saja hampir menabrak gue lewat terlebih dahulu, menyisakan gue dan orang yang udah nolong gue disana.

"Gimana sih lo? Gak liat ada motor? Kalau jalan itu liat-liat! Bukannya ngelamun mikirin yang lain," omel Naufal yang baru saja narik sekaligus nyelametin gue dari motor yang melaju cepat dari samping gue tadi.

"Makasih."

"Cukup kaki gue aja yang lo injek untuk terakhir kali, jangan sembrono lagi kalau lagi jalan."

Setelah ngomong gitu, Naufal pergi bersama temannya yang sudah menunggu di sampingnya menaiki motor. Menyisakan gue yang masih bengong dengan apa yang baru saja terjadi.

"Ini orang kenapa deh??"

Lagi-lagi setelah gue ngomong kayak gitu, Dendi tiba-tiba muncul bersama motor kesayangannya dari belakang gue. "Del! Minggir! Jangan ditengah jalan woi!"

Denger itu gue langsung jalan cepet minggir dari kerumunan motor yang berjalan random itu, lalu memilih untuk berjalan bersama rombongan murid yang berjalan bersama-sama.

"Ayo naik!"

Tepat setelah gue berhasil keluar dari gerbang sekolah, gue baru sadar kalau ternyata daritadi Dendi ngikutin gue dari belakang.

"Ngapain lo?"

"Naik buruan!"

"Dih ogah, gua mau naik bus."

"Loh? Gak mau bikin tugas kelompok?"

"Lah? Kan nggak langsung? Lagian Juna juga belum berangkat."

"Ya kan kita bisa dateng ke rumahnya langsung."

"Emang lo tahu dimana rumahnya?"

"Tahulah. Lo mau tahu gak? Kalau mau ayo naik gue anterin."

Ini bukan penipuan kan?

Jujur gue penasaran sama tempat tinggal serta lingkungan yang Juna tinggali selama ini. Tapi apa bener Dendi tahu rumah dia?

"Lo serius?"

"Serius, Del. Rumahnya gak jauh."

Ucapan Dendi barusan berhasil bikin gue percaya, dan akhirnya gue milih untuk bareng sama dia lagi. Tentu saja untuk menemui Juna.

-

"Lo serius tahu rumahnya?" tanya gue lagi setelah melihat Dendi yang sedikit kebingungan dengan jalan yang baru saja ia lewati.

"Iya, gua cuman agak lupa gang masuknya yang mana."

Gue ngehembusin nafas lelah. Gue gak tahu apa yang dikatakan Dendi itu bener atau nggak, tapi selama kita masih jalan, gue akan berusaha terus berpikiran positif.

"Nah! Ini."

Gue melotot setelah Dendi ngeberhentiin motornya, sambil nyandarin motornya didepan suatu rumah.

Tunggu.

Ini...

Rumah?

Rumah?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Juna and His WordsWhere stories live. Discover now