- (4) -

76 7 4
                                    

"NARENDRA!"

Naren sedikit terusik dengan teriakan itu, perlahan ia mencoba mengumpulkan kesadarannya, memaksa membuka kelopak matanya.

"CEPETAN BANGUN! SIAPA YANG NYURUH BANGUN JAM SEGINI ANAK MALAS?!?"

Naren duduk diatas kasurnya, melihat Mahira yang datang dengan muka penuh amarah.

"SAYA TIDAK MENGAJARKAN UNTUK MENJADI MALAS, CEPAT BANGUN, ANAK SIALAN!"

Ira mendekat, kemudian menyeret paksa anak bungsunya ke kamar mandi.

"Ma, jangan ma"

Byuuuurr

Dingin, itu yang Naren rasakan saat ini, Ira menyalakan shower tanpa mengatur temperatur suhu, membuat Naren menggigil hebat.

"Ma, dingin.."

Ira menatap puas, kemudian berjalan kearah pintu kamar mandi yang terbuka.

"Selesaikan dengan cepat, atau papamu akan marah saat melihat kau tak ada di meja makan."

Naren meneteskan air matanya tepat saat Ira menutup pintu kamar mandi dengan keras. Perlahan Naren berdiri, menyelesaikan acara mandinya dengan cepat.

*****

Naren hanya menunduk saat Arjun mengeluarkan kalimat-kalimat pedasnya, sudah terbiasa itu lebih tepatnya.

"Kamu mendengarkan Papa tidak?" Naren mengangguk tanpa menoleh kearah Arjun yang duduk didepan Aiden, sedangkan dia duduk tepat berhadapan dengan Ira.

"Pa, gausah marah pagi-pagi bisa?" Aiden membuka suara, terlalu jengah mendengar omelan sang Ayah.

"Aiden cukup diam, dan gausah ikut campur!" Aiden meneguk ludahnya kasar saat Ira membalas perkataannya disertai dengan tatapan tajam.

"Papa nggak pernah ngajarin kamu buat jadi anak yang malas Narendra!"

"Mama menyesal melahirkan kamu kedunia."

Ucapan itu sukses membuat Naren semakin menunduk, berusaha kuat menahan rasa perih disudut hatinya, bahkan berusaha mati-matian untuk tidak meluruhkan air matanya.

"Mahira.." teguran itu berasal dari Arjun, laki-laki paruh baya itu menatap istrinya dengan sorot mata yang entahlah, intinya sulit diartikan.

"Apa? Perlu kuperjelas lagi?" Ira justru memberikan tatapan nyalang kearah suaminya.

"Faritsa Mahira! Diam!"

Mahira membanting sendok dan garpunya, menimbulkan bunyi nyaring karena dua alat makan itu mengenai piring.

"Seharusnya dia memang mati saat itu juga, seharusnya Aiden tidak lumpuh seperti sekarang, seharusnya Aiden bisa melanjutkan pendidikannya dan bisa menjadi anak yang membanggakan, TIDAK SEPERTI DIA!!"

Mahira berdiri dari duduknya, menatap bengis kearah Naren yang kini sudah menangis dalam diam, "KAU-!! MEMBUAT KELUARGA KU HANCUR BERANTAKAN!! KAU YANG MEMBUAT KELUARGA KU MENANGGUNG MALU ATAS SEMUA YANG KAU LAKUKAN!! TIDAK BISAKAH KAU BERPIKIR NAREN?! GUNAKAN OTAKMU BODOH!!"

Perlahan air mata itu menetes dari mata cantiknya, membuat aliran kecil dipipi putihnya, "JADILAH SESEORANG YANG BERGUNA JIKA KAU MASIH MENGANGGAPKU SEBAGAI SEORANG IBU, AKSA JUAN NARENDRA!"

Ira menghapus kasar air matanya kemudian berjalan cepat meninggalkan meja makan, Naren masih setia menunduk, air matanya masih mengalir dengan isakan-isakan lirih, beberapa pikiran buruk mulai memenuhi pikirannya, ia merutuki segala kesalahannya, tapi disatu sisi hatinya ingin sekali berteriak jika dia juga membutuhkan sebuah semangat untuk bangkit dari keterpurukan.

NARENKANA | Na Jaemin Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz