12. Perspective

187 21 2
                                    

Kentang goreng yang dipesan dan juga empat buah sosis bakar terhidang di hadapan mereka. Minumannya mereka memilih es jeruk saja.

Kedua orang itu menatap ke arah pantai dalam diam. Suara debur ombak, sayup-sayup obrolan orang dan musik pun didengar mereka.

“Pulang nanti gue yang nyetir ya, Po.” Nichi berbicara setelah cukup lama hanyut dalam suasana hening di antara mereka. Ia menyomot satu kentang goreng.

Perkataan itu otomatis mengundang kerutan di kening Apollo. “Yakin lo? Ini udah malam loh.”

“Kalo malam memangnya kenapa? Gue biasa nyetir malam-malam.” Nichi mendelik tidak suka dengan lontaran kata yang dikeluarkan Apollo.

Apollo yang melihat respon Nichi tersenyum geli. “Iya, iya. Nggak usah liat gue kayak pengen makan gue gitu.”

“Abisnya lo kayak ngeremehin gue.”

Sorry. Gue nggak maksud ngeremehin lo. Gue terbiasa jadi supir kalo sama cewek. Makanya kesannya agak aneh kalo cewek yang supirin gue,” jelasnya.

Nichi mengangguk paham. Matanya sempat melihat sekeliling kafe ini. Cukup ramai juga ternyata. “Berhubung lo sama gue jadi lo harus biasain itu.”

“Iya, Cantik.”

“Jangan panggil gue cantik.”

“Terus apa? Sayang?”

“Mulut lo minta dijahit hah?” Nichi melayangkan tatapan tajamnya yang membuat Apollo meringis. Sisi tidak tersentuh itu masih ada ternyata. “Becanda, Chi. Nggak usah dianggap serius napa..”

“Bacot lo. Ngomong-ngomong. Gue pengen nanya.” Tangannya yang sedari tadi pelan-pelan mengambil kentang goreng itu berhenti. Ia memperbaiki posisi duduk ternyaman lalu menjatuhkan perhatian penuh pada Apollo.

Apollo yang melihat sikap Nichi yang berubah serius membuatnya mengernyit. “Tanya apa?”

“Gue pengen tanya dari sisi lo berhubung gue cuma dengar dari Reyna. Lo putus sama dia itu kenapa? Yang gue denger dari Reyna lo hilang kabar gitu aja terus tiba-tiba muncul gandeng cewek baru. Itu bener? Lo selingkuhin dia atau gimana? Jujur sama gue. Mungkin jawaban lo nanti buat gue maki-maki lo tapi seenggaknya gue nggak lihat dari satu sisi lagi. Jadi, kenapa lo sama sohib gue putus?”

Cepat atau lambat Apollo tahu, Nichi pasti akan menanyakan hal ini padanya. Apollo mendesah pelan lalu menatap Nichi serius.

“Gue nggak suka diposesifin dan diatur-atur. Reyna kayak gitu ke gue. Awalnya gue ngerasa bangga dan seneng karna itu artinya dia sayang gue dan nggak mau lepas atau jauh-jauh dari gue. Tapi lama-lama gue capek. Dikit-dikit harus ngasih kabar, tiap dua jam sekali harus nelfon dia, dan tiap nelfon gue harus nyebutin siapa atau apa aja yang ada di sekeliling gue.” Apollo menjeda singkat ia mengalihkan pandangannya ke arah pantai sejenak. Menghela napas singkat lalu kembali menatap Nichi.

“Bukan cuma itu, hobi ambekannya buat gue frustasi lama-lama. Hal yang sepele diributin sama dia dan gue muak. Gue putusin dia, nggak peduli dia mau terima atau nggak. Gue hilang kabar dan sisanya lo tau sendiri. Yang pasti gue nggak selingkuh dan cewek itu memang cewek gue. Kalo mau dibilang sayang.. Gue sayang sama Reyna tapi rasa itu tergerus sama semua tuntutan dia. Gue juga salah harusnya ngomong bukannya bersikap pengecut kayak gitu. Tapi ya... namanya aja masih labil, main gue tinggalin aja dia. Masa bodoh lah intinya. Terserah lo mau percaya cerita gue atau nggak. Ini versi gue.”

Jawaban yang disampaikan Apollo tidak pernah didengarnya dari Reyna. Oke, ada, Reyna mengakui sifat ambekannya tapi selain itu tidak pernah diceritakan Reyna padanya.

Ketika Reyna bercerita padanya saat itu langsung membuat Nichi membenci Apollo. Setiap ada dari teman-teman mereka yang menyebut nama tersebut, Nichi langsung menyalak. Melihat Reyna yang harus menangis satu minggu penuh dan susah payah menerima kenyataan lalu harus move on, membuat Nichi mengutuk Apollo.

Little Things [Completed]Where stories live. Discover now