37. No more

150 21 2
                                    

Nichi menatap layar komputernya yang menampilkan barisan kode dengan datar. Ia seolah kehilangan semangat untuk melanjutkan pekerjaannya itu.

“Ah, sialan. Manusia nggak tahu diuntung. Bajingan.” Nichi mendengkus pelan lalu memilih beranjak dari meja kerjanya dan memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Ia menatap hampa plafon kamarnya yang berwarna putih gading itu.

Selalu seperti ini. Setiap lelaki yang pernah dekat dengannya selalu menuntut lebih darinya. Sikapnya yang tidak menggebu-gebu dan cenderung terkontrol membuat para lelaki itu merasa tidak dipedulikan dan tidak dicintai.

Nichi tidak suka bersikap berlebihan, tidak suka mencari perhatian atau bahkan cemburu tidak jelas. Ia masih berlogika jika menyangkut masalah perasaan dan hati. Berbeda halnya dengan keluarganya, Nichi selalu bersikap manja, cemburu bahkan bisa menjadi sosok yang super posesif pada keluarganya. Tapi di luar itu, ia adalah seorang perempuan yang tenang dan tak banyak tingkah.

Salahkah ia menerapkan batasan seperti itu pada orang-orang di sekitarnya? Namun meski pun ia memberi batasan ia tetap bersikap layaknya seorang perempuan yang menyayangi pasangannya. Memberi perhatian kecil, selalu memberi kabar, memberi pujian kecil, tak pernah bersikap macam-macam di luar sana, selalu komunikatif dan bersikap dewasa dalam berdiskusi entah karena ada masalah atau sekedar bertukar pikiran, tapi sayangnya mata mereka tertutup akan itu semua.

Nichi mengubah posisinya menjadi berbaring miring. Ia menghembuskan napas pelan lalu menutup matanya.

Ia butuh tidur, pikirannya terlalu berisik saat ini. Bangun tidur nanti ia akan keluar mencari hiburan. Untuk membantu menjernihkan kepalanya yang penuh.

••

Reyna bisa melihat ada yang berbeda dari Nichi. Wanita itu jadi jauh lebih banyak diam dan mudah emosi. Nichi itu hanya akan emosi kalau dibangunkan secara paksa, saat datang bulan dan ketika bermain gim. Selebihnya wanita itu santai, judes tapi tetap berbicara banyak.

“Lo dari tadi nyimak cerita gue?” Reyna akhirnya bertanya setelah dari tadi hanya bercerita namun pandangannya tidak beralih dari Nichi.

“Nyimak. Atasan lo yang lagi-lagi bersikap seenaknya itu ‘kan? Semua kerjaannya dia dilimpahkan sama lo. Terus tadi pagi pas lo berangkat kerja hampir aja nabrak anak anjing lucu. Juga lo siang tadi malah makan nasi goreng pedes level 11 dan sekarang perut lo mules banget.” Nichi berbicara masih tanpa memandang Reyna karena tatapannya masih tertuju pada layar monitornya.

Reyna mengangguk puas dengan jawaban sahabatnya itu namun kecurigaannya tidak begitu saja hilang. Mengenal Nichi sekian tahun hanya dengan intuisi saja ia tahu ada yang tidak beres dari sahabatnya itu.

“Kerjaan lo masih banyak?”

Nichi tidak langsung menjawab. Ia mendesah pelan.  “Rey.”

“Napa?”

“Jalan yuk. Lo ambil cuti kerja terus kita melancong. Gue butuh banget udara segar.”

Nichi memang suka melancong dan suka berbicara seperti itu pada Reyna, sehingga tidak membuatnya mempertanyakan ucapan Nichi itu hanya saja sekali lagi, nuansa di sekitar sahabatnya itu berbeda. Meski begitu Reyna tidak akan memaksa Nichi untuk bercerita, ia akan menunggu sampai sahabatnya itu berbagi.

“Ke mana kita? Bali? Lombok? Raja Ampat aja gimana? Atau ke luar negeri? Berapa hari? Gue urus dari sekarang deh.” Reyna berbicara dengan semangat, berusaha bersikap seperti itu.

Namun Nichi tahu bahwa Reyna dapat merasakan keanehannya, meski begitu ia bersyukur karena Reyna tidak mendesaknya untuk bercerita. Bahkan berusaha bersikap biasa padanya.

Little Things [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang