#1 - Tanah Kahyangan

42 4 0
                                    

Jakarta, 1987

Sore itu, RX King yang dikendarai Roy berhenti di depan Pasar Elang. Ia memilih memarkirkan motornya di sebuah warung nasi langganan. Lelaki itu lalu melepas helm. Rambut gondrongnya yang lepek karena keringat ia sapu dengan jari kebelakang, menyisakan sedikit poni ikal yang jatuh menutupi dahi.

"Roy, mampir dulu sini." Ibu pemilik warung menyapa, yang dibalas dengan lambaian tangan oleh si lelaki.

"Gampang, Tan." Roy kemudian berlalu, sebelumnya ia menyempatkan diri memberikan kedipan genit pada anak gadis si pemilik warung.

Gadis berkepang dua yang diam-diam mencuri pandang padanya itu langsung menunduk, tersipu malu seraya menyibukkan diri menyiangi sayuran.

Roy tertawa, lantas merogoh kantong celana jins untuk mengambil sebiji permen karet. Lelaki itu sibuk mengunyah dan membuat gelembung balon sepanjang jalan melintasi penjual-penjual pakaian dan perabot di pinggir jalan. Lagu Singkong dan Keju serta siaran radio tumpang tindih dengan klakson metromini ketika dirinya melewati toko kaset dan elektronik. Sambil bergoyang, ia menyebrang tanpa melihat kanan-kiri lantaran di depan sana ada supir mikrolet yang tengah berkelahi dengan tukang becak, menyebabkan tumpukan panjang kendaraan.

Untuk sampai ke gedung bioskop, selain melewati pasar, juga harus melintasi bangunan SMP negeri. Roy membuang permen karet bekasnya ke pinggir jalan dengan santai sambil melirik ke dalam sekolah. Seperti magnet, lelaki itu mendadak jadi pusat perhatian gerombolan anak-anak perempuan yang hendak pulang.

Lelaki itu sengaja mendirikan kerahnya jaket kulitnya sebelum melemparkan senyum menggoda pada gerombolan siswi itu. Mereka serentak terkikik-kikik, membuat seringai tengil Roy terkembang.

Remaja laki-laki kurus berkacamata seketika muncul di sebelah Roy dan mengomel, "Om, tolong ingat umur. Yang Om godain masih anak SMP."

Roy tidak kaget dengan kehadiran tiba-tiba remaja itu karena ia sudah tahu. Sambil menyengir, ia menoleh. "Terus, masalahnya di mana? Muka saya, toh, masih muda, Herry."

Herry, si remaja berkacamata, berdecak. "Om, yakin perlu aku kasih tahu?" Matanya terlihat makin kecil saat ia menyipit. "Perawakan Om boleh muda, tapi umur asli Om setua stupa Borobudur. Aku panggil polisi sekarang, nih." Ia mendadak menghentikan langkah dan berbalik.

"Nggak, Herry, nggak. Om cuma bercanda tadi." Roy cepat-cepat menarik lengan kemeja flanel yang dikenakan si remaja. "Lagian Om nggak setua stupa juga, ya!"

Herry mendengkus jijik.

Roy lekas menutup mulut. Ia tahu herry itu pintar dan tidak pernah neko-neko, tapi saking kaku sifatnya, terkadang guyonan yang ia lontarkan mental semua. Roy tentu tak mau lagi berusan dengan polisi seperti tempo hari, di mana waktu itu dirinya bergurau kalau ia mengubur jasad korban tabrak lari yang dilakukannya di belakang rumah. Kala itu Herry membalas dengan muka lempeng kalau ia akan menelepon polisi. Tepat di malam hari, di saat dirinya mandi, aparat berwajib benar-benar menyatroni kontrakannya di Bekasi. Untungnya setelah itu Eddy Jale—ayah dari Herry menolong. Pemeriksaan yang keluar menyatakan Roy tak bersalah karena jasad yang terkubur bukanlah manusia, melainkan tubuh tikus got yang tidak sengaja terlindas ban motornya.

"Jadi, apa kerjaan dari bapakmu kali ini, Her?" tanyanya sebagai pengalih pembicaraan.

Herry menunjuk gedung bioskop dengan dagu. "Orang yang mau kasih kerjaan sudah nunggu di sana."

"Kenapa harus ketemuan di bioskop? Di tempat biasa kan bisa?" Roy penasaran. Bukan sekali dua kali, ia bekerja dengan Eddy. Biasanya untuk membicarakan bisnis, mereka akan bertemu di sebuah kedai es krim yang telah menjadi langganan Eddy sejak lama.

Mencuri Tanah KahyanganWhere stories live. Discover now