#7 - Isyana Mahendratta

15 3 0
                                    

"Tambuah ciek, Da!"

"Uda, cincangnya sebungkus."

"Ayam bakarnya dua lagi, Da."

Suara-suara manusia kelaparan saling tumpang tindih. Denting sendok-garpu yang beradu dengan piring bersahut-sahutan. Kipas angin bobrok yang menempel di langit-langit terus-menerus mengeluarkan bunyi seperti baling-baling helikopter. Aroma daging bakar, cabai, beserta santan memenuhi ruangan. Dua orang pelayan lelaki mondar-mandir, meletakkan satu per satu pesanan yang seolah datang tanpa akhir. Biasanya, hari Sabtu di jam-jam setelah makan siang tak pernah seramai ini.

"Gaduh betul. Pusing Uda lihatnya."

Rian tertawa mendengar celetukan itu. "Bersyukur dong, Uda. Restoran ramai artinya banyak uang. Jadi, Uda bisa cepet jadi sultan," balasnya sembari menghitung lembaran uang dari mesin kasir sambil melahap kue nagasari yang dibelinya pagi tadi.

Arai, lelaki yang dipanggil Uda itu sembari membungkuk dan mengurut pinggang. "Uda sudah tua, Rian. Nggak sanggup kerja keras bagai kuda begini," keluhnya seraya menepuk salah satu karyawan lelakinya untuk menggantikan posisinya di palung, kemudian ia mendudukan diri di sebelah Rian. "Kalau Uda daftar jadi sugar baby masih ada yang mau, nggak, ya?"

"Idih. Idih." Rian mencela. "Coba ngaca, Da. Tampang kayak om-om, masa bertingkah kayak remaja? Nggak pantes."

Arai mendengkuskan tawa sebelum mencomot camilan milik Rian. "Oh iya lupa, Uda secara harafiah lahir sebelum Jepang bikin romusha di sini, ya, jadi pasti nggak ada yang mau jadikan Uda sugar baby," sahutnya santai, mengabaikan Rian yang misuh-misuh karena kue nagasarinya dicuri.

Di saat yang sama, dari arah pintu, seorang perempuan muda berkacamata dengan rambut dikucir ekor kuda melangkah masuk setelah memarkir motor. Dengan mata tajamnya ia memeriksa keadaan sekitar dan baru berhenti saat ia menemukan apa yang dicari. Ia bergegas berjalan menuju kasir di mana Arai dan Rian tengah berbincang.

"Uda," Perempuan itu memanggil.

Dua kepala menoleh bersamaan.

"Onde mande." Arai seketika meletakkan pulpen yang tadi terselip di telinganya dan senyum lebar hingga kerutan di mata serta deretan giginya terlihat. Rian—yang tak menyangka akan kedatangan tamu tak terduga—tanpa sadar memasukkan seluruh kue nagasari yang tersisa sampai tersedak. Pemuda itu cepat-cepat menyambar sebotol air mineral dan menenggak isinya dengan rakus.

"Baa kaba, Yana? Lama Uda tak jumpa kau, nih." Arai menyapa sambil melepas celemek kusam yang dikenakannya. "Ada apa main ke sini? Mau nyebar undangan, kah? Cie, yang mau menikah."

Si perempuan muda tak menyahut, membuat Arai menyengir kikuk. Lelaki itu akhirnya menyilakannya untuk berjalan lebih dulu. "Ah, kalua wak nah. Bicara di luar aja. Mumpung waktunya Uda istirahat."

Sebelum Arai mengikuti perempuan itu, Rian sudah lebih dulu menahannya dan berbisik. "Mau ngapain Mbak Yana ke sini? Uda pinjam uang sama dia sekarang? Ditipu sama siapa lagi, Da? Aku laporin ke Tante Mira, lho." Ia menyipitkan mata sambil menuding. Perkataannya ini tentu cuma bercanda. Sebab, ia tahu Uda mustahil melakukan hal konyol macam ini.

"Eh, sembarangan!" Arai menampar pelan tengkuk Rian sampai si pemilik kepala mengaduh keras. "Uda memang punya hutang sampai mati sama orang tuanya. Tapi kayaknya Yana kemari bukan karena itu. Karena apa, ya?" Tiga garis kerutan di dahinya muncul akibat berpikir keras.

Sadar Arai tak ada di belakangnya, si perempuan berhenti di ambang pintu, dan lekas berbalik. Ia mengatur tali tas messanger yang berada di pundaknya sebelum memberikan gestur pada Arai untuk segera beranjak. Arai menyahut "oke" tanpa suara.

Mencuri Tanah KahyanganWhere stories live. Discover now