#3 - Dermaga Pelabuhan

13 3 0
                                    

Kalau kamu sudah membaca bab 1 dan 2 sebelum diedit, disarankan untuk membaca ulang, ya. Soalnya ada beberapa keterangan yang ditambahkan di bab 1 dan 2.

=====

Ada jeda selama dua minggu sebelum keberangkatan dan Roy memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari tahu detail tentang tana malai tolung lingu beserta hal-hal yang mampu membuktikan kecurigannya. Namun, baik Eddy maupun para mahasiswa dan dosen yang hendak ke Gunung Bondang itu bermain begitu rapi. Mereka beralibi jika ekspedisi ini bertujuan hanya untuk survei dan mendata temuan situs baru sekitar lereng Gunung Bondang. Tak ada maksud lain. Data yang didapat nantinya akan diserahkan kepada Balai Arkeologi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Oke, Roy angkat tangan. Yang terjadi biarlah terjadi. Lebih baik mengikuti alur daripada pusing memikirkan berbagai kemungkinan yang belum tentu kebenarannya. Lagi pula, panjar dari Eddy sudah di tangan. Fokus utamanya sekarang adalah pulang dengan selamat supaya ia bisa mendapatkan sisa bayaran.

Waktu berlalu hingga hari keberangkatan tiba. Seperti yang sudah disepakati, pelabuhan Tanjung Priok dipilih sebagai tempat berkumpul. Sebab, sesuai rencana, mereka akan menggunakan kapal api sebagai moda transportasi menuju Kalimantan.

Roy berjalan-jalan sembari melihat-lihat di area ruang tunggu terminal pelabuhan yang cukup lengang. Dikarenakan hari ini jauh dari tanggal libur nasional, hanya terlihat beberapa lusin calon penumpang hilir-mudik fokus pada urusan masing-masing. Beberapa pedagang asongan menawarinya permen, kacang, serta rokok, tapi lelaki itu dengan santai mengacuhkan. Jika ingin selamat, kesehatannya harus tetap prima selama perjalanan. Ini adalah perarturan tak tertulis yang sengaja ia buat sebelum mengambil eskpedisi, terutama jika tempat yang dituju bermedan sulit.

Papan mading yang berdiri sebelah pintu masuk ruang tunggu menarik perhatian Roy. Koran yang terbit di hari itu tertempel rapi sesuai nomor halaman. Ia membaca dengan serius isi berita halaman demi halaman. Tidak ada satu kata pun yang ia lewatkan. Atensinya seketika jatuh pada halaman rubrik kriminal. Pada salah satu kolom berita halaman tersebut tertulis judul: Penemuan Laboratorium Ilegal Berisi Puluhan Mayat Tanpa Identitas Gegerkan Warga Setiabudi.

Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Yakin tak ada yang memperhatikan gerak-geriknya, ia merobek halaman tadi, melipatnya sampai kecil, kemudian memasukannya ke dalam dompet. Ia pun menghampiri Herry yang duduk di salah satu kursi besi dekat pintu masuk lalu mengempaskan diri di samping remaja itu.

"Bisa, nggak? Lama banget pasangnya." Roy meledek Herry karena sedari masuk terminal sampai nyaris lima belas menit berlalu, remaja itu belum juga berhasil memasukkan rol film ke dalam tustel miliknya. "Nggak bisa, kan? Sini biar Om aja yang pasang."

Herry menjauhkan kameranya dari jangkauan tangan Roy. "Bisa, lah! Aku bukan orang norak kayak Om," tegasnya sambil menaikkan kacamatanya yang melorot sambil memasang muka judes.

Roy mendengkuskan tawa. "Idih, idih, kok, sewot?" Ia menyampirkan sebelah tangan pada sandaran kursi di belakang punggung Herry dan menyilangkan kaki.

"Ya, makanya. Kalau nggak mampu beli koran, jangan robek mading sembarangan."

Rasanya seperti ditampar. Panik, Roy menoleh kanan-kiri. Syukurnya tak ada yang tertarik mengamati dan menguping pembicaraan mereka. "Nggak gitu, Hey. Nggak gitu."

"Ya, terus apa? Itu barang buktinya masih ada di dompet Om, kan?"

Lelaki itu meletakkan jari telunjuknya di depan mulut. "Ssst! Sudah jangan omongin itu lagi." Ia mengambil sebungkus permen telur cicak dari tas ranselnya, lalu menyerahkannya pada Herry sebagai bea tutup mulut. "Om sekarang mau tanya, gedung kantor kosong bapakmu yang ada di Setiabudi itu sudah ada yang sewa?"

Mencuri Tanah KahyanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang