#9 - Kesalahpahaman

19 2 0
                                    

Mira menaiki tangga sambil menggerutu dengan dua tangan menenteng dua kantong plastik berisi minuman ringan beserta berbagai camilan. Sialan. Kenapa dia tidak memerintahkan Rian untuk belanja dulu sebelum membersihkan AC di ruangannya? Jadinya, dia tidak harus repot meniti anak tangga yang jaraknya lebar-lebar begini.

Wanita itu menendang pintu ruangannya dengan kesal. Rian yang duduk atas tangga lipat pun terlonjak. Beruntung penutup AC yang di tangannya tidak terlepas.

"Tante!" Rian melaung sewot. "Kalau buka pintu pakai perasaan, dong!"

"Bawel kamu." Mira berjalan menuju meja kerjanya, lalu menaruh seluruh belanjaannya di meja. Ia kemudian meraih ponsel—yang lupa dibawanya ke minimarket—dari dalam laci. Ada tiga panggilan tak terjawab.

Mira melotot saat mengetahui siapa yang telah menelpon. Mati gue. Faktor umur makanya dia jadi pelupa. Ia buru-buru menghampiri Rian yang tengah memasang penutup AC. "Sudah selesai cuci AC-nya?"

"Sudah, memangnya kenapa?"

"Ikut Tante ke restoran Uda." Mira menyeret Rian keluar. Rian yang takut diamuk tantenya menurut saja seperti anak bebek.

Setibanya di restoran Uda, Mira tanpa tedeng aling-aling naik ke lantai dua karena tak menemukan Arai di meja kasir dan palung. "Uda!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu kamar Arai.

"Hei, hei, waang baduo, manga ribuik-ribuik di siko*?"

Mira dan Rian sontak menoleh ke belakang. Arai yang tengah menggendong kucing oranye gendut gelagapan saat ditatap dua pasang mata berbeda ekspresi; satu nyalang seperti ingin menelan orang, yang satu lagi kebingungan.

"Uda tadi lihat anak ini datang kemari? Namanya Elin." Mira menunjukkan sebuah potret selfie anak gadis berseragam SMA dari ponselnya. Foto itu ia dapatkan dari kemampuan Rian dalam menguntit media sosial seseorang.

Rian mengambil tangan Mira untuk melihat foto yang Mira maksud. "Cewek yang kakaknya hilang itu mau datang ke sini? Rian nggak ingat Tante bahas ini kemarin." Setelah membicarakan mengenai pekerjaan ini, malamnya Mira memang memintanya untuk menyelediki anak itu secara menyeluruh.

Kini giliran Arai yang gantian meneliti foto si bocah. Sebelah alisnya kemudian naik. "Tadi dia ke sini makan siang. Terus sudah pulang."

Mira tiba-tiba menjerit jengkel. "Kenapa nggak ditahan?!"

"Ya, mana Uda tahu kalau kamu punya janji sama dia. Memangnya kamu bilang sama Uda?" balas Uda dengan suara yang tak kalah tinggi. Kucing yang digendongnya sampai loncat dan pergi menuruni tangga lantaran kaget.

"Oke, aku salah. Maaf Uda." Mira mengembuskan napas kasar untuk menetralkan emosinya. "Sudah lama anaknya pergi?"

Arai menggeleng. "Belum. Bisa dikejar kalau naik motor."

Wajah Mira berubah semringah, lalu menepuk-nepuk lengan Rian. "Ya sudah, kamu kejar sana."

Rian segera beranjak, tapi baru dua langkah ia berhenti dan memutar badan. "Pergi ke mana cewek itu, Uda?"

"Arah stasiun." Uda secara tiba-tiba mengetukkan jari pada pahanya beberapa kali membentuk sebuah sandi yang hanya dimengerti olehnya, Rian, dan beberapa karyawan restoran.

Ada orang yang mengikuti anak perempuan itu.

Rian setengah terkejut setelah mengartikan kode dari Arai. Ia lalu mengacungkan jempolnya tanda mengerti.

Hanya ada satu jalan besar yang bisa dilalui untuk mencapai stasiun, sudah pasti bakal mudah saja mencarinya—minus ada orang-orang yang tengah mengikuti Elin tentu saja. Namun, hal itu bisa dipikirkan nanti, yang jelas sekarang keselamatan cewek itu dan dirinya lebih penting. Rian bergegas undur diri agar tak kehilangan jejak anak perempuan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mencuri Tanah KahyanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang