#4 - Titik Balik

11 3 0
                                    

'Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Pelabuhan Balikpapan adalah dua hari dua malam, sudah termasuk transit di Surabaya dan Ujung Pandang. Selepas dua jam berlayar, Didit tiba-tiba mabuk laut. Bolak-balik muntah membuat energi bocah itu terkuras habis, berjalan saja ia sempoyongan. Sempat terjadi adegan tarik-menarik yang membuat gaduh saat Roy hendak membawa Didit ke klinik. Bocah itu—meski tenaganya tinggal sedikit—masih bisa berkelit dari cengkeraman Roy dan bersembunyi di toilet. Roy berdecak. Akhirnya ia meminjam empat mahasiswa Pak Eka untuk membantu menyeret Didit keluar.

"Dua hari, Didit! Dua hari lo bakal ada di kapal ini. Apa lo kuat nahan sakit selama itu, hah? Kalau lo mokat*, tinggal gue ceburin ke laut, ya!" Roy dengan jengkel memukul betis bocah itu sampai si empu kaki mengaduh keras.

Didit yang meringkuk di atas bangsal menggumam lirih, "Ya, maaf Om."

"Lagian, kenapa tadi berangkat nggak bilang kalau lo gampang mabok laut?! Kan, gue bisa ke klinik dulu buat ambil obat."

"Aku takut ketemu dokter, Om. Takut disuntik."

Roy mengusap wajah, nyaris meledak. Untungnya, tepat saat itu, dokter jaga perempuan membuka gorden penyekat yang memisahkan tempat tidur Didit dengan pasien sebelah.

"Selamat sore. Ada keluhan apa?" tanya si dokter seraya mendatangi Didit. Dengan cekatan ia memasang stetoskop, lalu memeriksa denyut jantung, paru-paru, serta organ pencernaan Didit.

"Mabuk laut. Biasa, Dok. Baru pertama kali naik kapal," balas Roy ramah. Ia telah mengubah serautus delapan puluh derajat raut wajahnya. Andai Herry melihat hal ini, remaja itu pasti dengan senang hati meginjak kaki Roy karena geli. Mentang-mentang dokternya masih muda, mungkin baru berumur pertengahan tiba puluh.

"Oke, ada keluhan lain selain pusing dan mual?" Si dokter perempuan kemudian mengambil buku catatan kecil dari dalam saku jasnya.

"Biar cepet sembuh harus bagaimana, Dok?" Didit memotong sebelum Roy menjelaskan lebih lanjut. Hei, dia pasiennya di sini!

Si dokter perempuan tersenyum-senyum. "Ya, harus disuntik supaya cepat sembuh."

Didit melotot horor.

"Ya, sudah. Disuntik aja kalau begitu, Dok."

"Om Roy!" Didit melaung tak terima.

Setelah dokter jaga mengizinkan Didit untuk kembali, Roy mengajak bocah itu untuk menghirup udara segar di geladak. Dan, ya, dia tidak disuntik. Itu cuma gurauan si dokter saja. Didit hanya diresepkan obat anti mual yang bisa dikonsumsi jika gejala mabuk lautnya kembali.

"Nih!" Roy melemparkan sekantong manisan buah pala kering kepada Didit. Sebelum berangkat tadi, beberapa keluarga mahasiswa memberikannya banyak camilan sebagai ucapan terima kasih.

Didit yang tadi sedang bengong menatap laut pun terperanjat. "Ini boleh aku habisin semua, Om?"

"Boleh," sahut Roy sembari menuang wedang jahe yang terbungkus kantong plastik ke dalam gelas enamel miliknya. Wedang itu juga pemberian salah satu keluarga mahasiswa. Entah yang mana. Lupa.

"Om yakin nggak mau?"

Roy menggeleng dan kembali menikmati pemandangan langit sore. Angin laut menerpa wajah dan menerbangkan rambutnya yang gondrong. Ia sedikit melirik ke belakang di mana satu keluarga juga ikut bersantai di bangku dek kapal. Sepuluh meter di sisi kanannya, ada sekumpulan laki-laki, yang Roy taksir adalah pekerja buruh kasar, sedang bercengkerama. Di antara ramai lalu-lalang penumpang, Roy merasa diperhatikan. Akan tetapi, ia tak bisa memastikan siapa dan di mana orang yang tengah memerhatikannya itu berada.

"Om Roy!" Didit seketika berteriak di depan telinga Roy.

"Apaan?"

"Dipanggil Pak Eka, buat ikutan ambil makan di kantin."

Mencuri Tanah KahyanganWhere stories live. Discover now