3. Mengenal Lebih Jauh

43.1K 11.3K 7.1K
                                    

Hai hai hai!

Selamat malam cimolll

Absen hadirrr cuyyyy

Met baca, jangan skip narasii okeyyyyy!!

*****


"Kabur, Ta. Kabur!"

Meta menepuk pundak Pradipta dengan heboh setelah naik ke jok belakang motor cowok itu. Wajahnya benar-benar pucat pasi. Jantungnya pun memompa darah lebih cepat dari biasanya. Meta merasa panik bukan main saat ini. Dia langsung berlari sekencang mungkin dari lantai dua menuju area parkir Bakti Utama. Nyawanya seolah akan dicabut saat ini juga. Takut. Panik. Semuanya bercampur aduk di hatinya.

"Kenapa, sih, lo?" tanya Pradipta yang tak paham.

"Nanti gue ceritain. Yang penting, kabur dulu dari sini!" ucap Meta, membuat Pradipta ikut panik dibuatnya.

Tak ingin membuat Meta marah kepadanya, Pradipta langsung menarik gas motornya, dan melaju cepat hingga keluar dari gerbang SMA Bakti Utama. Setelah mulai agak jauh dari jangkauan sekolah mereka, barulah Pradipta memelankan laju motornya. Dia mengusap pelan punggung tangan Meta yang berada di perutnya. Cewek itu sudah tidak terlihat panik, dia bisa melihatnya dari kaca spion.

"Kenapa?" tanya Pradipta.

Meta mengembuskan napas beratnya. "Mario udah tahu gue."

Citttttt

"PRADIPTAAA!!"

Meta mengusap dada karena jantungnya kembali berdegup kencang. Pradipta tiba-tiba berhenti mendadak, membuat tubuhnya menubruk punggung kokoh cowok itu. Untung saja di belakang mereka sedang tidak ada kendaraan lain. Kalau sebaliknya, entah apa yang terjadi pada mereka.

"Tahu gimana, Ta? Gimana ceritanya?" tanya Pradipta dengan wajah yang begitu panik. Padahal, belum lewat satu hari kekhawatiran itu menghampirinya. Rupanya benar-benar terjadi hari ini juga.

"Dia nempelin surat ke loker gue. Tulisannya, Meta? Ada masalah?" Kedua bahu Meta merosot lemas. Dia menyandarkan kepalanya ke punggung Pradipta, lalu memejamkan matanya untuk meredam segala macam pikiran yang bergelut di kepalanya.

Pradipta terdiam sejenak sebelum akhirnya menyeletuk, "Lo harus minta maaf."

"Pradipta...,"

"Meta...."

Meta kembali menegakkan tubuhnya. Kali ini, dia menundukkan kepalanya dalam. Kalau sudah begini, dia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti permintaan dari sahabatnya itu.

"Selagi ada gue, lo bakalan aman," ucap Pradipta, lalu kembali melingkarkan tangan Meta di perutnya. Kalimat penenangnya itu cukup membuat Meta menghela napas panjang.

Se-berandal apa pun Meta, dia akan kalah dengan Pradipta.

*****

Suara drum yang dipukul menggila.

Petikan gitar.

Seseorang yang melantunkan pantun dengan cekikikan.

Alunan musik pop dan rock yang bertubrukan.

Semua keramaian itu terjadi dalam satu bangunan minimalis yang diberi nama 'Pangkalan Seni T55'.

"Pantun lo jelek! Kayak anak TK!" Ailaan melempar buku kumpulan pantun milik Tera setelah membacanya beberapa buah. Ejekannya itu berhasil membuat Tera menghentikan pukulan drum yang sejak tadi cowok itu mainkan. Pun dengan berhentinya alunan musik rock yang sengaja Ailaan matikan.

MetaforaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang