4. Pertemuan Perdana

37K 10.9K 7.7K
                                    


Hai hai hai!

Selamat malammm, cimolllll

Absen hadirrrrrrr 😻

*****

Jangan skip narasi biar paham, ya 🥲

Soalnya kalo ada yang masih bingung:
"Meta itu cewek apa cowok? Ailaan cewek apa cowok?"
Baca narasinya ya sayangggkuu 😇😇🙏🏻🙏🏻🙏🏻

*****

"Panggilan untuk Meta Dania Forysthia, sebelas IPA lima, dimohon untuk segera menuju ke ruang seni. Sekali lagi, panggilan untuk Meta Dania Forysthia, sebelas IPA lima, dimohon untuk segera menuju ke ruang seni. Terima kasih."

Saat Meta mendengar namanya disebut, kakinya yang beberapa detik lalu sempat melangkah gontai, kini berhenti di tikungan koridor lantai satu. Mampus. Itu suara Helen, ketua OSIS di SMA Bakti Utama. Meta jelas mengenalinya. Tapi... untuk apa?

Ini baru pukul enam pagi. Bahkan hanya segelintir siswa yang sudah berangkat. Meta sengaja datang lebih awal untuk menghindari sesuatu. Namun, perkiraannya meleset. Sepertinya, dia mengambil langkah yang salah pagi ini.

Astaga....

Seni itu identik dengan Tongkrongan 55, kan?

Termasuk MARIO!

"Aisshh!" Meta menepuk kening. Dia merutuki kebodohannya sendiri karena tidak mengajak Pradipta untuk berangkat pagi. Meski dikenal sebagai berandal sekolahan yang namanya banyak tercatat di buku pelanggaran, Meta tetaplah manusia biasa.

Kelemahan Meta yang tidak banyak orang lain tahu adalah... dia bukan siapa-siapa tanpa Pradipta yang membentenginya.

"Gue harus kabur atau ngorbanin diri buat masuk ke kandang singa?" Meta menghela napas panjang. Yang dia tahu, Tongkrongan 55 adalah komunitas yang berisikan orang-orang keren. Itu pun dia ketahui dari Pradipta. Selebihnya, Meta tidak tahu banyak.

"Mereka bukan mafia, Meta. Nggak perlu takut. Kalian satu spesies. Anak seni." Meta mengencangkan ikatan rambutnya dengan batin yang terus mendoktrin diri. "Sujiwo Tejo pernah bilang. Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. Berjuang tak sebercanda itu."

Oke. Meta tidak boleh menghindar.

Aksara Demario, mari bertatap muka.

*****

Meta dibodohi. Dia kira, hanya ada Mario di ruangan seni itu. Rupanya ada empat antek-antek lain yang kompak memandangnya aneh. Meta terlihat seperti seekor kelinci yang tak sengaja masuk ke kandang musang. Lima cowok yang duduk berjajar di sofa panjang itu cukup membuat degup jantung Meta mulai menggila.

Meta akui kalau kali ini dia merasa begitu payah.

"Mario, take your time. Kita keluar." Gavie berdiri. Disusul Zale, Ailaan, dan Tera. Mereka berempat lalu melangkah, melewati Meta dengan melirik cewek itu sekilas. Setelah itu, pintu ruangan seni SMA Bakti Utama kembali tertutup.

Ruangan sunyi itu menyisakan Mario dan Meta yang saling pandang. Sepuluh detik. Dua puluh detik. Masih belum ada yang buka suara. Mereka seolah mampu berinteraksi meski hanya lewat pandangan saja.

Lima detik setelahnya, Meta akhirnya menyerah. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Menatap setiap sudut ruangan berwarna putih tulang itu dengan perasaan gelisah. Lukisan-lukisan di beberapa bagian dinding, dia perhatikan untuk mengalihkan perasaan takutnya. Ruangan yang dipijaknya terlihat cukup luas. Ada berbagai macam alat musik juga di sana. Entahlah, selama satu setengah tahun bersekolah di sini, Meta baru pertama kali berkunjung ke ruangan ini. Itu pun karena Mario.

MetaforaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang