Tiga Puluh Satu

1.2K 77 13
                                    

Apa yang dibilang Bri memang tidak salah tapi juga tidak bisa dianggap 100 persen benar.

Tidak salah memang jika meminta bantuan orang lain untuk menyembuhkan luka tapi Erin rasa dia tidak perlu melakukan itu, menjadikan orang lain tumbal perasaanya, sementara dia tau betul bagaimana rasanya dijadikan pelarian, pelampiasan hanya untuk mengobati cinta yang tak terbalas.

Erin rasa akan lebih baik jika dia menyibukkan dirinya menjadi wanita mandiri yang berkelas, lebih bernilai daripada sibuk mencari sosok lelaki pengganti Alan.

Yess, Senin menjadi hari pertama Erin berhasil magang di salah satu perusahaan StartUp yang bergerak di bidang pendidikan.

Sebenarnya revisian skripsi sudah cukup menyita waktunya, tapi jujur jika Erin sering berada di satu momen termenung lalu menangis sebab merindukan sosok pria yang harusnya tidak layak untuk dia rindukan.

Oh and see, this is what Erin wanna be....bertemu dengan banyak orang baru yang ahli dibidang mereka masing-masing.

Mungkin ini juga cara Tuhan membantunya keluar dari belenggu rasa sakit yang dia buat sendiri akibat terlalu mencintai pria yang belum tentu memiliki rasa persis seperti yang dirasakannya.

"Halo Erin, mau maksi apa, kita mau gofood ni?" tanya Mbak Nana salah satu senior yang tadi diawal perkenalannya mengaku sudah bosan level akhirat bekerja disini.

Satu lagi, they are totally ramah dan sama sekali tidak terlihat angkuh hanya karena merasa dirinya sudah ahli.

"Maksi itu apa mbak?" tanya Erin bingung

"Makan siang, Rin. Sorry sorry, belum di briefing tadi yaa." Ucapnya lalu tertawa kecil.

"Ohh iyaiya, samain aja deh Mbak."

"Yakin?"

"Yes, I'm sure"

Erin pikir pesan makan adalah hal yang sederhana tapi ternyata tidak, banyak sekali drama persilatan lidah dan pertentangan antara pilihan menu makanan.

Jadi ini sebabnya kenapa waktu belum menunjukkan istirahat pun mereka sudah heboh berebutan ingin memesan makanan batin Erin.

Untung saja pesanan sudah datang sekitar 20 menit setelahnya, jadi mereka masih punya nafas sebelum balik menjadi budak perusahaan.

"Hai, Erin." Erin melihat sumber suara lalu melemparkan senyum sambil menganggukkan kepala.

"Kita satu almamater btw, but I didn't see you," mata Erin tampak membulat, "Hahahaha biasa aja wajahnya, Rin." Sambungnya lagi.

"Masih ingat nama aku?" tanyanya pada Erin yang sebenarnya bukan Erin tidak mau berbicara, hanya saja dia masih menikmati mie box nya yang belum habis.

Erin tersenyum malu mengakui bahwa dia sama sekali tidak ingat nama pria didepannya ini, harus diakui untuk urusan mengingat nama bukan Erin ahlinya.

"Let me to introduce twice, nama aku Bara Wardhana."

"Oh eh iya, halo Bang Bara." Ada rasa tak enak hati sebenarnya, bagaimana bisa Erin tidak mengingat nama karyawan disini sementara para karyawan justru mengingat namanya.

Oh sungguh sebuah kenyataan yang memalukan peradaban.

"Kamu sama aku ada di divisi yang sama, jadi kalau ada masalah boleh diskusi ke aku." tuturnya lalu dia pergi meninggalkan Erin.

***

Ada 6 anak magang dari ratusan kandidat yang melamar, why Erin knows? Karena Erin melihat secara nyata seleksi yang dilakukan sama mereka.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang