Tiga

1.2K 82 1
                                    

"Gusti Agung, salah apa Bri yang cantik seantero kampus ini dapat PS yang kejam mintak ampun tiada tanding." Jerit histeris teman seperjuangan Erin mengawali hari mereka setelah bersama-sama menghabiskan sebungkus lontong sayur.

Namanya Britani Alekia paling benci dipanggil Tan yang terkesan Tante Tante. Mereka saling kenal sejak PAMB universitas, berlanjut hingga tahap Fakultas, dan semakin erat ketika hasil pembagian kelas keluar dan mereka berada di kelas yang sama.

Tentu selama empat tahun inilah, baik Erin dan Bri sudah saling mengenal dalam, seluruh seluk beluk saling sahut menyahut menjadi bukti nyata bagaimana eratnya pertemanan mereka berdua.

Tahun pertama mereka sempat hidup bersama di bilik kamar indekos, lalu tahun berikutnya mereka sengaja menyewa rumah dengan fasilitas dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu ruang santai seperti rumah sederhana pada umumnya.

Rumah yang bersebrangan langsung dengan si pemilik. Rumah yang juga dikelilingi segerombolan anak rantau dari daerah mana saja, nyaman, dan strategis tentu menjadi pertimbangan utama mereka masih betah tinggal dirumah tersebut.

Erin turut empati merasakan betapa sulitnya perjuangan seorang Bri kedepan, mengingat seluk beluk serta perjalanan dosen tersebut. Bukan tanggung-tanggung, dosen pembimbingnya adalah dosen dengan level senioritas serta kepintaran mutakhir yang diakui oleh dosen lain.

Dosen legenda dengan gelar lulusan luar negeri alias si Bapak Prof. Dr. Darian Guwito, S.Pd., M.Ed, berdasarkan deretan titel tersebut sudah bisa dibayangkan sekelas dan seajaib apa seorang Bapak Darian? Bisa dapat nilai B saja Erin dan teman sekelasnya harus sujud syukur, atau kalau perlu melakukan hajatan besar-besaran.

Dua adik junior yang mengisi kamar sebelah mereka juga tidak kalah sedihnya melihat bagaimana wajah penuh frustasi Bri yang sedang mengacak-acak rambutnya gemas. Tidak ada satupun berita yang luput mengenai kesempurnaan seorang Bapak Darian dimata mahasiswa jurusan Matematika.

Semua penjuru pasti tau dan mengenal beliau. Mulai dari bagaimana perawakannya, mode pakaian yang membosankan, serta kacamata yang tidak pernah lepas dan satu lagi, tas jinjing dan tumpukan kertas yang selalu dibawa setiap beliau mengajar.

"SABAR KAK BRI."

"Pelan dikit, dek." Ucap Erin mengingatkan Adel, lengkapnya Adelia Saragih. Mungkin kalau tidak ada Adel rumah itu akan sunyi mengingat suara Adel lah yang paling menggema diantara yang lain.

"Keceplosan aku, kak. Kasihan lihat kak Bri, Save kak Bri." Erin mengangguk, menyetujui semuanya.

"Kak Bri pasti bisa. Ya gak kak?" timpal Maya teman satu angkatan Adel.

"Gapapa, Bri. We always ready to help you." Ucap Erin membalikkan semangat Bri yang sudah patah sebelum berperang.

Bagaimanapun sedih serta tidak terimanya akan keputusan pembagian PS tidak akan berdampak apapun kecuali ke diri sendiri. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan mutlak para jajaran perangkat jurusan tersebut. Mau tidak mau suka tidak suka, paku pun harus ditelan.

Memang menurut catatan sejarah, belum ada mahasiswa yang lulus tepat waktu jika berada di bawah bimbingan Bapak Darian. Semua mahasiswa yang berada dalam bimbingannya harus siap mental dan uji ketahanan untuk hasil skripsi yang benar-benar sempurna versi beliau.

Tentu, satu hal yang sangat dihindari semua mahasiswa ketika melihat teman seangkatan sudah berdiri dengan senyum mekar berbalut busana kebaya bersama orang tua mereka, sedangkan beberapanya lagi masih bergelung keras merevisi semua hasil penelitannya.

"Bri cantik, kenapa Bapak Darian bisa samamu karena Allah tau kau mampu."

"Is Erin. Tapi aku maunya dapat Buk Yeni yang MasyaAllah muka sama kelakuan sama ademnya, seadem ubin masjid."

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang