Lima

841 73 5
                                    

"Hai, lihat apa kok serius banget?" tanya Erin pertama kali setelah duduk tepat di sebelah kursi kemudi dan tepat setelah Alan melayangkan satu kecupan di pipi sebelah kirinya.

"Inbox mail, baru dikirim setelah kena marah. Deadliner typical."

"Abang marah?"

Alan menggeleng menghidupkan mesin mobilnya setelah yakin sabuk pengaman Erin terpasang sempurna. "Gatau ya ini hitungannya marah atau enggak, tapi abang tadi cuma ngomong kalau Tetangga saya freshgradute and enthusiast in working and joining in this company fyi."

"Serius?"

Alan mengangguk mantap, "Itu memang enggak marah, tapi halus banget sindirannya."

"Biar sadar aja kalau mereka harusnya bersyukur udah diterima dan... harus tepat janji."

"I see."

Erin tidak perlu bertanya apakah saat ini Alan terpaksa mengantarnya atau tidak. Karena dia tau Alan yang bersedia meluangkan waktu sama dengan Alan yang sudah menyusun prioritasnya. Pria itu punya standard jadwal yang cukup teratur dan sepanjang Erin mengenalnya, Alan bukan sosok pria yang suka menebar janji tanpa bukti, tapi sekalinya berjanji dia tau kalau Alan pasti menepatinya.

"Gimana tadi bimbingannya?"

Erin tidak langsung menjawab, matanya berbinar menatap Alan yang tengah diam menatap jalan raya sambil sesekali melihat pantulan gambar dari balik spion.

"Keterima, abangggg."

"I can guess exactly. Pacar abang kan pintar."

"Tapi pakai judul yang kedua." Sahut Erin lagi

"Any problem?"

"I don't think, tapi kalau boleh jujur aku prefer judul pertama. Karena kan case nya memang udah aku dapati sejak magang pertama."

Alan mengangguk-anggukkan kepala, mengeluarkan gulungan uang dari dalam laci untuk bocah yang berusia kurang lebih sembilan tahun dan harus merelakan dirinya berbalut cat metalik yang Alan yakin jika itu sangat menyakitkan bagi mereka. Tapi mereka butuh dan harus demi suguhan nasi.

Erin ikut tersenyum melihat betapa bahagianya wajah anak tersebut mendapat uang dari Alan "R & D itu sulit-sulit gampang, bang. Apalagi kan memang kami semua direkomendasikan untuk ambil R&D yang pakai sistem teknologi."

Alan mengangguk walau dia tidak begitu memahami seluk beluk bagaimana jurusan pendidikan dengan sistem penyusunan skripsinya, "Feel free to call, me."

"Pasti. Abang udah dapat job-desc sejak dini bahkan."

"Ohiya? Apa?"

"Tukang ketik." Jawab Erin asal, dan Alan tahu jika Erin hanya mengada-ngada. "Kan aku lupa basa-basi."

Alan mengernyit bingung satu alisnya terangkat naik bertanya-tanya, "Tadi abang nunggu aku lama gak?"

Alan tertawa mendengar basa-basi yang memang sudah terdengar basi mengingat mereka sudah hampir tiba di salah satu supermarket tempat menjual bahan baku makanan segar, "Enggak, just around 10 minutes."

***

Menemani Erin berbelanja bukan hal baru bagi Alan, begitu juga dengan Erin yang terbiasa melihat keberadaan Alan berdiri disamping sembari mendorong troli belanja milik kekasihnya. Ralat, sebenarnya bukan milik Erin saja, tapi juga miliknya. Jika dihitung mungkin separuh dari bahan makanan yang diambil Erin atas permintaan dari Alan.

"Ay, kayaknya buat lava kayak kemarin enak."

"Buat brownies kismis kayak kemarin enak, Ay."

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang