Empat

833 75 0
                                    

Alan baru saja berdiri sembari memasukkan beberapa tumpukkan kertas yang rencananya akan disambung di rumah nanti. Sudah cukup dia duduk dan bekerja hingga hampir pukul delapan malam.

"Lan, langsung pulang?"

"Kenapa?"

"Makan, buaya."

"Duluan aja nanti nyusul." Kata Alan masih memilah beberapa kertas yang benar-benar penting menurutnya. Dia berharap cara ini akan membantu mengurangi pekerjaannya besok. Waktu yang bisa digunakan untuk berdua bersama Erin.

"Ck, did you see this morning I come?"

"Enggaklah, kurang kerjaan."

"Bangsat. Udahlah cepatan nebeng."

"Yang lain mana?"

"Basement. Puas?"

Ardias Kenandra Galih teman Alan salah satu teman divisinya bersama dua teman yang lain. Tapi dibandingkan dengan temannya yang lain Ardias alias Ardi lah yang paling dekat dengan Alan. Mereka lebih sering berbagi cerita mungkin karena sudah saling mengenal sejak menempuh pendidikan Sarjana.

Keduanya berjalan beriringan tanpa suara, yang satu sedang menatap layar handphone dengan raut wajah bahagia. Raut bahagia yang sudah tidak asing lagi bagi Alan, apa lagi kalau bukan karena umpannya yang mendapat sambutan hangat.

Sedang Alan dia tidak bersemangat melihat gawainya, mengingat sejak tadi sore tidak ada lagi balasan dari pujaan hati. Sedang sibuk, atau mungkin sedang dalam urusan penting. Yang jelas malam hari Aya-nya lebih suka menghabiskan waktu bersama temannya duduk didepan televisi.

"Cewek mana lagi yang mau jadi korban? Belum tobat juga lo?" sedikit banyaknya kadang Alan masih suka memakai bahasa tempat dimana dia sempat menimba ilmu selama tiga tahun setengah.

"Belum saatnya."

"Mau sampek kapan? Gak capek keluar masuk, gonta-ganti tiap minggu?"

"Mohon maaf saya tidak sedang berbicara dengan ustad Arsalan, bukan?"

"Fuck." Balasnya kemudian mereka saling tertawa.

Berhubung Ardi sedang menumpang dan pemiliknya sedang tidak dalam kondisi rajin mengemudi, maka dengan berat hati Ardi harus menukar posisi dan membiarkan Alan menikmati tempat duduk di sebelah kemudi.

"Heh buset, kenapa lagumu jadi mellow kayak cewek semua gini, Lan? What the hell in your mind, dude?"

"Punya Aya itu."

"Ya ditukar dong, ya kali tiap hari pas mutar lagu yang didengeri lagunya begini terus."

"Ribet lah, lagian Aya udah suka ya disukain juga gak ada salahnya." Sahut Alan tulus. Dia tidak mempermasalahkan selera musik Erin yang memang berbeda dari selera musik dia, tapi bukan berarti menjadi masalah untuknya. Jika Erin bisa menikmati maka Alan juga belajar menikmatinya.

"Dasar bucin."

Alan memutar bola mata jengah, sudah biasa mendengar ucapan itu dari mulut teman-temannya. Sudah biasa sampai dia sendiri bingung harus membalas apa.

"But, Lan. I'm curious."

"Jangan dibahas."

Ardi mengangguk mengatup mulutnya lagi, menekan semua rasa penasaran dibenaknya. Hanya satu harapan, apapun yang terjadi kedepannya dia berharap Alan tidak pernah salah langkah, tidak pernah menyesal jika suatu waktu hal buruk terungkap.

"She's good woman."

"True. No offense." Alan mengangguk.

Mereka tiba di tempat biasa, warung tenda yang semakin malam semakin ramai dikunjungi orang. Mulai dari para remaja, orangtua, dan seperti mereka para pekerja yang masih berbalut kemeja slimfit pun turut memenuhi deretan kursi panjang warung tenda Pak Amat dengan menu andalan Nasi Goreng Kambing.

Salah RasaWhere stories live. Discover now