Sembilan

629 65 22
                                    

"Kak Ayaaa." Erin tersenyum sumringah melihat seorang wanita yang merupakan adik kekasihnya menjerit memanggil namanya, tangannya terbentang hendak memeluk Tiara yang juga langsung dibalas dengan pelukan hangat.

"Kakak ngapain?" Tanyanya setelah keduanya melepas pelukan.

"Ngurus surat untuk skripsian, biasalah."

"Ih aku kangen tau sama, kakak. Kata abang, kakak pulkam." Sudah Erin bilangkan, kalau hubungan dia dan Alan tidak hanya melibatkan mereka berdua saja, tapi juga keluarganya termasuk gadis yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dari usia Erin.

"Kakak jugak kangen, makanya balik ini." jawab Erin sambil tertawa menggoda.

"Oh I see, pantas aja si Alan gemblung itu tadi malam senyam-senyum enggak jelas sampek takut aku, rupanya kekasih tercinta udah pulang." berbanding terbalik dengan Tiara yang bercerita dengan nada kesal, Erin justru dibuat bertanya-tanya.

Pasalnya dari kemarin hingga saat inipun pesannya sama sekali belum dibaca oleh Alan. Erin bahkan harus berjaga hingga pukul setengah dua belas malam hanya untuk mendapat kabar dari pacarnya. Tapi apa tadi yang dikatakan Tiara?

Laki-laki itu pulang dengan wajah ceria, dan membuat orang menduga bahwa dia baru saja bertemu dengan Erin, sementara Erin saja kehilangan Alan lebih dari dua puluh empat jam. Dia hanya bermodalkan percaya jika Alannya sedang sibuk dan pekerjaannya sungguh membutuhkan Alan lebih banyak daripada Erin.

Erin terdiam, otakknya masih berpikir tentang bagaimana bisa Alan tersenyum dengan raut gembira ketika pekerjaannya sedang dalam mode waspada?

"Emang kemarin Bang Alan pulang jam berapa, dek?"

"Jam berapa ya, ada kayaknya jam sebelasan gitu. Soalnya aku baru aja siap ngerjain tugas, kak."

"Ohiyaiya." Ucap Erin tidak tahu sebenarnya harus dengan apa dia memberi respon, rasanya sesuatu mengganjal sedang melanda hati dan pikiran dia.

"Ih kakak ya kalau sama Bang Alan berduaan lihat jam lah, kangen boleh tapi masak lakik sendiri pulang gak nengok jam. Mabok asmara kok gak ilang-ilang." Tiara berucap sambil mengerlingkan matanya, mentertawakan apa yang baru saja diucapkannya tentang sesuatu yang sama sekali tidak terjadi.

"Gimana ya, abisnya cinta." Jawab Erin asal, padahal pikirannya sedang melayang entah kemana.

"Rin," Panggil Angga, pria dengan perawakan tinggi, bobot kurang berisi juga rambut sedikit gondrong yang digerai jatuh nyaris menyentuh pundak pria itu, "Udah nih, beres." Ucapnya seraya menyodorkan selembar kertas berleges ketua jurusan.

"Loh temen kakak ini?" Erin mengangguk, "Abang yang kemarin nyanyi di Lencana Café bukan?"

Angga mengangguk sedang Erin melotot tidak percaya, sebenarnya dia tidak perlu heran melihat gaya berpakaian lelaki itu yang menunjukkan seniman sejati, tapi Erin pikir bukan seniman dalam bidang tarik suara tapi lebih kepada seseorang yang mampu menghabiskan waktunya di depan papan kanvas.

"Wow! Btw suara abang bagusloh."

"Mau kenalan?" tanya Erin menawarkan diri, pasalnya Angga cenderung pendiam dan lebih banyak mengangguk dan tersenyum berbanding terbalik jika sedang berdua dengan Erin.

Tiara mengangguk dengan binaran mata yang bisa dibaca oleh siapapun, Erin bisa memaklumi perasaan Tiara yang menggebu meskipun Angga bukan tipe Erin tapi harus diakui jika Angga punya pesona berbeda untuk memikat para wanita diluar sana, termasuk Tiara.

Mungkin pembawakan Angga yang santai juga gaya pakaian yang tidak terlalu formal tapi juga tidak berantakan, serta senyum tulus yang diperlihatkan lelaki itu menjadi daya pikat yang menjerat para fans wanitanya.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang