Part 01- Nara Evans

2.9K 138 14
                                    


Tinggalkan jejak vote dan komentarnya!

Naraya, seorang gadis yatim piatu, orangtuanya meninggal semenjak dirinya berada dibangku SMP. Saat itu untung saja bos dari mendiang ayahnya mau merawat Nara. Bahkan mereka sudah menganggap Nara seperti anak sendiri. Mereka memiliki seorang putra bernama Evans, yang terpaut usia empat tahun lebih muda dari Naraya.

Kedua orangtua Evans sangat baik pada Naraya. Mereka tidak hanya membiayai kebutuhan hidup Nara saja, tapi mereka juga membantu biaya Nara sampai ke jenjang sarjana. Hingga akhirnya kini Naraya sudah menjadi seorang guru yang mengajar di SMA. Kini Nara mengajar disalah satu sekolah swasta milik orangtua Evans.

"Evans, kenapa kamu susah sekali sih dikasih tahu. Kamu sudah kelas tiga, sebentar lagi lulus. Perbaiki dong sikapmu itu, jangan keluyuran terus, jangan bolos, berhenti ikut tawuran, balapan, dan berhenti pergi ke klub malam."

Saat ini adalah hari minggu, tentu saja semua orang sedang berada di rumah. Papanya Evans libur dari kantor, Nara libur mengajar, dan Evans libur sekolah. Sedangkan mamanya Evans memang ibu rumah tangga. Beliau punya butik, tapi sudah dikelola oleh orang-orang kepercayaannya. Paling-paling kalau mamanya Evans ingin memantau butiknya, barulah beliau ke sana.

"Vans, kamu itu satu-satunya anak kami. Kelak semua asset milik kami akan menurun padamu. Selama ini kami sudah banyak memaklumi kelakuan-kelakuanmu itu. Kalau bukan karena sekolah itu adalah milik papamu, pasti sudah lama kamu dikeluarkan dari sekolah. Jangan malu-maluin mama dan papa dong, Nak. Kamu 'kan udah mau delapan belas tahun, udah mau lulus SMA, masa masih kaya gini."

"Mah, aku 'kan anak pemilik sekolah, jadi siapa juga yang berani mengeluarkanku. Jadi mama tenang saja, kalau masalah lulus, aku pasti akan lulus. Biar kelihatannya begini, aku 'kan gak bodoh-bodoh banget." Evans yang diomeli malah tampak santai saja.

"Kamu kalau dibilangin sama orangtua gak ada patuhnya sama sekali. Contoh dong Nara, dari dulu dia anaknya gak pernah membuat masalah. Yang ada dia berprestasi, sekarang dia udah jadi guru, sebuah pekerjaan mulia, pahlawan tanpa tanda jasa." Mamanya kembali mengomeli Evans.

"Mama sama papa nih kebiasaan, banding-bandingkan saja terus aku sama orang lain."

"Kalau kamu gak mau dibanding-bandingkan, makanya jadi anak yang baik."

"Hah, iya-iya." Evans dengan malas menjawab.

"Nay, tolong bantu om sama tante, awasi Evans kalau di sekolah. Para guru gak ada yang berani menegur dia. Kamu gak usah takut sama bocah ini, kalau dia berani macam-macam dan tidak menurut padamu, maka om akan menyita semua fasilitasnya."

Papa Evans menitipkan putranya di sekolah pada Nara, karena ia tahu guru lain tidak ada yang berani menegur Evans.

"Baik, Om, pasti akan Nara usahakan."

"Pah, apaan sih, memangnya aku anak kecil."

"Iya, karena kamu masih kekanakan. Kalau kamu sudah besar, kamu gak akan bertingkah seenaknya."

"Hah, udah deh, mending aku pergi ke luar aja, pusing dengerin omelan mama sama papa."

"Kamu lihat sendiri 'kan, Nara, kelakuan si Evans bikin pusing kepala." Mamanya Evans memegangi kepalanya.

"Sabar, Tan, siapa tahu nanti Evans bisa berubah. Mungkin karena pikirannya masih labil dan belum dewasa aja kali."

"Semoga saja, ya, Ra."

***

Pagi ini Nara sudah bersiap berangkat mengajar, dia mengenakan seragam guru miliknya. Rambutnya sudah tertata rapi, digerai. Wajahnya nampak cantik dengan riasan setipis dan senatural mungkin. Nara merupakan salah satu guru muda di sekolahnya. Karena parasnya yang memukau, banyak para murid pria yang sering menggodanya. Nara menjadi salah satu guru kesayangan siswa-siswi, karena dia begitu baik hati. Meskipun baik, tapi Nara juga sangat tegas, dia tidak akan segan menghukum anak-anak yang nakal. Saat ini usianya 22 tahun, sedangkan Evans usianya sebentar lagi 18 tahun.

Nara turun untuk sarapan, di rumah Evans memang ada banyak ART, meskipun begitu, Nara tetap bantu-bantu kalau libur atau senggang.

"Nara, tante minta tolong seret Evans untuk turun sarapan, pasti anak itu belum bangun. Takutnya dia kesiangan, kamu tahu sendiri dia kemarin saja kesiangan."

Nara kembali naik ke atas, karena kamarnya ada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Evans. Nara mencoba mengetuk pintunya, tapi tidak ada jawaban.

"Evans, bangun, kamu harus sekolah hari ini. Sekarang hari senin loh, cepetan turun sarapan." Nara menggedor pintu kamar Evans dengan kuat.

Awalnya Evans masih bisa tahan dengan menutup telinganya dengan bantal, tapi lama kelamaan karena gedoran itu semakin keras, ia menjadi terganggu. Evans lantas terbangun dari tidurnya dengan penuh rasa dongkol.

"Berisik!" umpat Evans sambil membuka pintu kamarnya dengan kasar.

"Bisa-bisanya kamu belum mandi, ini udah jam berapa?!" kesal Nara.

"Bawel banget sih, suka-suka gue dong!"

"Evans, orangtua kamu sudah memberikan wewenang penuh kepada mba untuk membuatmu menjadi anak baik. Kalau kamu masih belum siap dalam waktu sepuluh menit, mba akan pastikan kalau mobil-mobil mewahmu itu akan disita oleh papamu. Kamu mau mencobanya? Kalau mau coba silakan saja, siap-siap kamu berangkat sekolah naik kendaraan umum!" tegas Nara.

"Naraya, loe gak tahu diri banget sih jadi orang. Loe sadar diri dong, loe itu cuma anak karyawan bokap gue yang dibesarkan karena udah gak punya siapa-siapa lagi. Harusnya loe berterimakasih sama keluarga gue yang udah ngerawat loe, kasih tempat tinggal, biayain sekolah, dan seluruh kehidupan loe terjamin di sini."

"Aku tahu itu, Evans. Aku sangat sadar diri, aku sangat berterimakasih dengan om dan tante. Justru karena aku sangat berterimakasih dan ingin sedikit saja balas budi, maka aku akan dengan senang hati menjalankan permintaan dari om dan tante. Mereka menyuruhku untuk keras padamu, lihat saja, kalau sampai kamu berani terlambat hari ini, maka aku yang akan menghukummu. Persetan dengan guru lain, wewenang dari papamu bersifat mutlak."

"Loe ...."

"Dari pada kamu menghabiskan waktu berdebat denganku, lebih baik sekarang kamu segera bersiap-siap. Hanya tujuh menit lagi yang tersisa untuk mempertahankan mobilmu." Dengan cuek Naraya pergi meninggalkan Evans.

"Sialan, makin ngelunjak aja itu cewek. Tapi omongan dia gak main-main, mana orangtua gue lebih sayang sama dia lagi dibandingkan sama gue, yang anak kandung mereka."

Dengan terpaksa Evans langsung mandi, bisa dibilang dia mandi dengan kilat. Lalu langsung memakai pakaian sekolahnya, mengambil tas sekolah miliknya dan bergegas turun untuk sarapan.

"Nah, gitu dong, ini baru anak papa."

"Ayo, sarapan dulu, nanti kamu berangkat ke sekolahnya bareng sama Nara, ya?" pinta mamanya Evans.

"Gak usah, Tante, Nara berangkat sendiri aja pakai ojek online seperti biasa."

"Ogah, Mah. Ngapain juga Evans harus bareng sama dia. Cewek gak tahu diri yang sok berkuasa mentang-mentang disayang sama kalian." Evans menyindir Nara.

"Evans, kamu gak boleh ngomong gak sopan kaya gitu. Biar bagaimanapun Nara sudah menjadi bagian dari keluarga kita." Mama Evans langsung mengomel.

"Iya, betul, lagian Nara empat tahun lebih tua darimu. Seharusnya kamu lebih sopan, panggil mba atau kak, ini malah gak ada sopan-sopannya dari dulu." Papa Evans ikut menasehati putranya.

"Terus aja belain anak emas kalian, sampai aku bingung, sebenarnya yang anak kandung kalian itu aku atau Nara sih?" protes Evans.

"Ya, kamu, kami sangat menyayangi kamu Evans. Itulah makanya kami ingin meluruskan jalanmu yang salah. Gak ada kata maklum untuk sebuah kesalahan. Kalau dibiasakan memaklumi hal yang salah, malah akan menjadi boomerang dikemudian hari."

Perkataan papanya Evans tidak bisa Evans bantah. Itulah sebabnya dia memilih diam dan melanjutkan sarapannya. 

Suamiku Murid NakalkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang