Bagian 28

41 4 1
                                    

•Bijaklah dalam membaca. Jangan menyangkut-pautkan kehidupan nyata para visual dengan cerita ini•

Sebelum pulang ke rumah, Genta terus merengek meminta untuk mampir ke taman kota terlebih dahulu. Demi menyenangkan hati sang keponakan, Kiran menurutinya walaupun masih merasakan perutnya yang kurang nyaman. Ia tidak perlu khawatir soal kondisinya sekarang, karena Tama selalu berada di sisi seperti sekarang ini. Tidak memberikan jarak walau satu centi.

"Mas Ar tunggu di kursi sana aja, ya? Capek kakinya, maklum udah berumur." Ari menunjuk salah satu bangku taman yang berbahan besi dengan cat putih yang mulai terkelupas. Ia terkekeh kecil sambil memegangi kedua lututnya yang mulai terasa nyeri.

Kiran mengangguk lucu. Ia membisikkan sesuatu di telinga Genta yang tengah manyun karena ayahnya tidak mau ikut berkeliling. "Ayah udah tua, Genta. Nanti kalau ikut keliling kakinya bisa jadi kayak kaki ubur-ubur." Setelah mengatakan itu, Kiran dan Genta cekikikan. Sedangkan Tama hanya mengacak gemas rambut bocah laki-laki yang di gendongannya.

"Mau ke mana dulu, nih?" Tama bertanya antusias. Kini mereka sudah mulai mengitari taman, meninggalkan Ari yang tengah duduk sambil bermain-main dengan kucing hitam yang terus bergelayut di kakinya.

Genta lebih dulu menjawab sebelum Kiran membuka mulutnya. "Mau pelmen kapas!" serunya dengan telunjuk mengarah ke pedagang permen kapas yang tengah menaburkan dua sendok gula ke dalam mesin pembuat permen kapas tersebut.

"Siap, Tuan Muda!" Kiran dan Tama serempak memberikan hormat pada Genta, membuat bocah itu bertepuk tangan senang.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat penjual permen kapas. Genta tak henti-hentinya tertawa saat Tama melontar beberapa lelucon yang menurut Kiran sama sekali tidak lucu. Tapi ia juga ikut tertawa demi menyenangkan hati keponakannya.

Tak berselang lama, Tama sudah masuk ke antrean dan memesan dua permen kapas untuk Genta dan juga Kiran. Wanita itu sangat suka yang manis-manis, Tama tidak pernah melupakannya hal kecil tersebut. Laki-laki dengan anak kecil di gendongannya itu menyuruh Kiran untuk sedikit menepi dari kerumunan orang antre karena takut ia merasakan sesak. Kiran mengangguk patuh dan berdiri di dekat pohon mangga di belakang sang penjual.

Setelah menunggu beberapa menit, Tama kembali dengan Genta yang berjalan di sampingnya. Mulut kecilnya mulai melahap permen kapas dari ujung. Karena ukuran permen kapas yang lebih besar dari wajahnya, saat Genta membuka mulut untuk mencicip permen kapas berwarna biru tersebut, seluruh wajahnya terbenam dalam permen kapas. Membuat wajahnya merasa lengket saat itu juga.

Tama hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia menyerahkan permen kapas berwarna pink pada Kiran dan disambut dengan senyuman ceria.

"Makannya gini aja." Tama mencontohkan pada Kiran cara memakan permen kapas tanpa membuat wajahnya ikut menjadi korban kelengketan seperti Genta.

Ia mencubit ujung permen kapas dan menariknya hingga membuat sepucuk permen tersebut terpisah dari temannya. Lalu, Tama sedikit mengepalkan permen kapas di tangannya hingga ukurannya mengecil dan memasukkan ke mulutnya.

"Tapi nanti tangan aku yang lengket," Kiran membalas sambil memandangi jari tangan kanannya.

"Nanti bisa cuci tangan."

Tanpa membantah lagi, Kiran mempraktekkan apa yang diajarkan Tama tadi. Hingga beberapa menit kemudian, permen kapas di kedua tangan makhluk menggemaskan itu sudah habis dan bersisa batangnya yang terbuat dari gulungan kertas.

ANCABAKA [TERBIT]Место, где живут истории. Откройте их для себя