[Beberapa chapter dihapus untuk kepentingan penerbitan]
Satu Minggu yang lalu, Tama mengatakan, "Jangan baper, Dik. Udah om-om."
Tapi, semalam Tama meminta, "Jangan berubah, ya? Tetep jadi Kiran yang dekat sama Mas Tama, nyaman di samping Mas Tama...
•Bijaklah dalam membaca. Jangan menyangkut-pautkan kehidupan nyata para visual dengan cerita ini•
Tama duduk dengan pandangan lurus ke depan. Di mana istrinya tengah berbaring dengan alat bantu pernapasan di hidungnya. Kecelakaan yang dialami Anaya cukup parah, tetapi bukan itu hal menarik yang terjadi. Namun, kandungan Anaya yang kemungkinan besar tidak selamat karena kecelakaan tersebut, ternyata tidak bermasalah. Calon anak mereka selamat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hanya saja, Anaya koma. Benturan di kepala wanita itu cukup keras.
"Kenapa ... rasanya berbeda?" ucap Tama sangat lirih. Ia menerawang ke depan dengan perasaan yang hampa.
Perasaannya sekarang tidak se-takut dan se-khawatir saat Kiran meninggalkannya. Melihat Anaya yang terbaring dengan beberapa selang yang tertancap pada tubuhnya tak membuat Tama merasakan takut maupun khawatir pada istrinya.
Kalian boleh mengatakan jika Tama adalah laki-laki brengsek yang tidak merasakan apa-apa ketika istrinya berjuang dengan maut. Tapi, memang itu kenyataannya. Sekarang pikiran Tama tidak tertuju pada Anaya, melainkan pada Kiran.
"Saya harus apa?" Tama menunduk. Mengepalkan kedua tangannya di atas paha.
Ting!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sebuah notifikasi terdengar. Pria itu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas, di sampingnya.
Tama menghela napas setelah membalas pesan dari Rena. Ia menatap cukup lama foto Kiran yang menjadi wallpaper chatnya. Hingga merasa dadanya semakin sesak, ia langsung meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula, lantas beralih menatap Anaya yang terlihat tenang.
"Saya minta maaf. Saya sudah bohongi kamu," katanya sambil menggenggam tangan kanan Anaya yang tidak terpasang infus, "saya mencintai wanita lain," lanjutnya.
"Seharusnya saya ada di samping dia. Seharusnya saya menemani dia sampai ke peristirahatan terakhirnya. Tapi, saya tidak bisa. Saya ... saya tidak kuat melihat kondisi terakhirnya."
Tama semakin menunduk dengan air mata yang berhasil lolos dari matanya yang memerah. "Saya minta maaf. Saya lebih mencintai dia daripada kamu."
Tama menangis tanpa suara. Genggamannya semakin erat seiring air matanya yang semakin banyak keluar. Napasnya pun mulai tersendat dengan hidung yang merah seperti orang terkenal flu.
Diam-diam Anaya mengepalkan tangan kirinya tanpa ia sadari.
***
Wanita berambut blonde sebahu itu tersenyum manis ke arahnya. Memakai gaun tanpa lengan dengan panjang selutut berwarna putih. Sangat cocok untuk tubuhnya yang mungil. Di genggaman wanita itu terdapat setangkai bunga mawar biru.
"Sayang," panggil Tama setelah tersadar dari lamunannya sejenak. Ia termenung menatap sosok bergaun putih tersebut.
"Ini bener kamu, kan?" tanyanya memastikan dengan kaki yang melangkah ragu mendekati wanita yang setia berdiri dengan jarak sekitar tujuh meter darinya.