Extra Chapter I

64 6 2
                                    

"Bunda atau Aka yang kangen?"

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Bunda atau Aka yang kangen?"

"Astaga!" Seorang anak laki-laki berseragam putih biru itu terlonjak dari duduknya. Bahkan, ponselnya sampai terlempar ke meja makan.

Sang bunda tertawa melihat reaksi putranya. "Masih suka, ya sama Ara?" tanyanya.

"Ti-tidak, Bun," elak sang putra gugup.

"Kalau masih suka juga nggak apa-apa. Tapi nggak boleh sampai pacaran. Kalian masih kecil. Baru masuk SMP."

"Iya, Bunda."

Bunda mengacak gemas rambut Nakaka yang sudah disisir rapi, membuat sang anak protes dan menjauhkan kepalanya dari tangan sang bunda.

"Makan dulu, nanti berangkat bareng Ayah." Nakaka mengangguk. Saat tangannya hendak memasukkan suapan pertama nasi goreng, tiba-tiba suara bariton menghentikannya.

"Kalau makan tunggu orangtua dulu, kecuali kalau kamu makan sendirian."

Seorang pria berusia tiga puluh tahun itu berjalan dengan penuh wibawa. Sebuah tas kerja berwarna hitam berada di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang ponsel sambil mengetikkan sesuatu di layarnya.

Nakaka menghela napas. Meletakkan sendoknya dan menunduk. "Maaf, Ayah," cicitnya.

Pria berwajah tegas itu duduk di kursi samping Nakaka. Meletakkan ponsel di atas meja dan tas kerja di kursi sampingnya. Panggil saja dengan sebutan Ayah Gala.

"Jangan terlalu serius, Ayah tidak memarahimu," ucap Ayah Gala sambil mengelus kepala belakang sang putra.

Nakaka mengangguk.

"Lain kali kalau mau menegur jangan pakai nada seperti itu." Kali ini Bunda yang bersuara.

"Iya, Sayang. Maaf." Ayah Gala mengedipkan sebelah matanya genit.

"Astaga, sudah tua masih seperti ini," batin Nakaka.

***

Saat ini, Nakaka sedang dalam perjalanan pulang bersama dengan seorang gadis kecil yang duduk di sampingnya. Mereka berdua dijemput oleh seorang pria tampan yang menjabat sebagai supir pribadi Nakaka. Anak dari seorang pengusaha muda terkaya.

Nakaka mengamati gadis manis yang sudah berganti pakaian. Mengenakan baju tanpa lengan berwarna kuning dan sebuah topi bulu. Tangan kanannya memeluk sebuah boneka kelinci berwarna abu tua. Hanya dengan hal sederhana seperti itu, mampu membuat hati Nakaka menghangat.

Dipandanginya terus wajah ayu sang gadis yang tidak membalas tatapannya walaupun tahu jika dirinya sedang ditatap

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Dipandanginya terus wajah ayu sang gadis yang tidak membalas tatapannya walaupun tahu jika dirinya sedang ditatap.

"Kenapa? Aku jelek pakai baju ini?" tanya Ara yang merasa tidak nyaman dipandangi terus oleh Nakaka.

Nakaka refleks menggeleng. "Ani, kamu cantik."

Ara hendak menarik ikat rambut di ujung kepangannya. Tapi, tangan Nakaka lebih dulu mencegahnya.

"Jangan dilepas," pinta Nakaka.

"Aku tidak suka model rambut seperti ini."

Nakaka menggeleng kekeuh. "Kamu terlihat lebih menggemaskan dengan model rambut seperti itu."

"Uhuk ... uhuk ... uhuk...."

Sang supir tampan pura-pura terbatuk mendengar ucapan terakhir Nakaka. Membuat dua bocah lucu di kursi belakang menatapnya bingung.

"Paman butuh minum?" tanya Ara cemas, ketika melihat wajah sang supir yang memerah.

"Tidak, Nona. Saya hanya tidak sengaja menelan ludah."

"Kenapa Paman jorok sekali?" sambar Nakaka sebelum Ara mengeluarkan celetukan lainnya.

"E-eh?" Sang supir menggaruk tengkuknya kikuk.

"Sudah sampai, Nona, Tuan Muda." Mobil berhenti tepat di halaman depan pintu utama setelah suasana hening menyerang sebentar.

Nakaka melepaskan seatbelt yang menahan tubuhnya, lalu membantu melepaskan seatbelt Ara dan langsung turun terlebih dahulu. Memutari bagian belakang mobil menuju samping untuk membuka pintu untuk Ara. Namun, langkahnya berhenti saat pintu mobil telah dibukakan oleh paman supir yang sangat tampan itu.

"Paman sangat menyebalkan," gumam Nakaka sambil meninju angin.

•ANCABAKA•

ANCABAKA [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora