[Beberapa chapter dihapus untuk kepentingan penerbitan]
Satu Minggu yang lalu, Tama mengatakan, "Jangan baper, Dik. Udah om-om."
Tapi, semalam Tama meminta, "Jangan berubah, ya? Tetep jadi Kiran yang dekat sama Mas Tama, nyaman di samping Mas Tama...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ana melirik ponsel putrinya yang menyala terang di kegelapan kamar. Seketika keningnya berkerut dalam membaca pesan yang diyakini dari kekasih putri semata wayangnya. Gemuruh di dada tak bisa dihindari. Ia mengepalkan tangannya kuat dengan gigi saling beradu.
"KINAYAAAA!" Dengan sekali tarikan napas, Ana berteriak nyaring memanggil nama putrinya yang tengah berada di kamar mandi.
Kakinya yang dibalut high heels 10cm tersebut menghentak lantai. Berjalan menuju belakang pintu kamar untuk menyalakan saklar lampu. Bersamaan dengan lampu kamar yang menyala terang, seorang gadis dengan rambut hitam pekat berponi keluar dari kamar mandi. Hanya menggunakan bathrobe berwarna putih bersih.
Kinaya, gadis berponi itu menghela napas pelan. "Kenapa lagi, Mami?" tanyanya dengan nada malas.
"Siapa laki-laki yang mengirimi kamu pesan itu?" Ana berjalan mendekati Kinaya dengan telunjuk menunjuk ponsel yang tergeletak di tepi kasur.
Gadis berponi tersebut segera meraih ponselnya. Saat layarnya menyala, sebuah notifikasi pesan muncul. Lantas, ia mendongak menatap wanita yang tak lain adalah ibunya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.